daerah

Setahun Lebih Kekeringan, Petani Sigi Tak Berdaya

Oleh: Job Runtukahu Editor: Job Runtukahu 10 May 2020 - 11:31 palu

KBRN, Palu :  Sudah lebih dari satu setengah tahun pasca bencana gempa bumi dan likuefaksi September 2018, ribuan hektar lahan pertanian di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah mengalami kekeringan dan terlantar. Lebih dari 300 hektar areal persawahan dan perkebunan milik warga Desa Jonooge, Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Sigi tidak dapat ditanami. Lahan pertanian tersebut nampak retak retak, bergelombang, ditumbuhi semak belukar dan tumbuhan liar serta dibiarkan terlantar. Diketahui luas lahan terdampak kekeringan di Kabupaten Sigi ini mencapai 8000 Ha.

 

Salah seorang warga Jonooge, Suharmadi yang kami temui, Kamis (20/02/2020)   memperlihatkan kondisi areal sawah yang mengalami kekeringan tersebut. “ Dalam keadaan kena bencana sekarang ini, yah...tidak bisa apa apa lagi, nda berdaya. Jadi pertanian semuanya, dari air kering, sumber irigasinya tidak ada, trus lahannya juga sudah rusak “, Imbuhnya.

 

Turunnya hujan menurut Sekretaris Gabungan Kelompok Tani, Gapoktan Desa Jonooge ini, ternyata tidak banyak membantu ketersediaan air untuk mengolah lahan yang dimilikinya.

 

“ Rusaknya lahan itu, ada yang likuifaksi dan bergelombang serta pecah pecah. Jadi walupun musim hujan ditanami horti ( tanaman hortikultura, red) pun tidak memadai airnya “, keluhnya.

 

Akibat kekeringan tersebut, sebagian besar petani memilih beralih profesi. Ada yang bekerja sampingan sebagai buruh kasar, pekerja pada sejumlah proyek bahkan menjadi buruh angkut di pasar. Dampak yang sangat dirasakan yakni berkurangnya pendapatan warga disebabkan hilangnya mata pencaharian sebagai petani. Karena itu, menurut Suharmadi, warga berharap upaya perbaikan irigasi Gumbasa sebagai pemasok utama pengairan di Kabupaten Sigi dapat segera diperbaiki.   

“ Perbaikan irigasi dulu, baru airnya masuk “.  Pinta ketua kelompok tani ini.

 

Menjawab keluhan petani tersebut, Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi III, Ferianto Pawenrusi mengatakan, rekonstruksi irigasi Gumbasa menjadi prioritas pemulihan sektor pertanian .Tahap pertama irigasi gumbasa memang baru dapat mengairi lahan sawah seluas 1070 hektar diupayakan dipercepat awal tahun 2020. Tahap berikutnya dalam pengerjaan konstruksi serta desain, sehingga ditargetkan pada akhir 2021 atau paling lambat 2022, seluruh jaringan fungsional sudah dapat mengairi 7000 hekar lebih.

 

“ Tahap satunya itu sudah selesai 1170 hektar. Nanti tahap berikutnya sementara ini proses desain karena perlu kajian khusus dulu. Pelaksanaan konstruksinya itu bertahap, secara keseluruhan Insya allah 2021 “, Kata Ferianto.

 

Selama ini Irigasi Gumbasa melayani kebutuhan  air lahan pertanian seluas 8000 hektar lebih di empat Kecamatan, yakni, Kecamatan Gumbasa, Tanambulava, Dolo dan Sigi Biromaru.  Panjang rekonstruksi irigasi 30 kilometer lebih, terbagi dalam dua tahap. Tahap pertama telah menyelesaikan sepanjang enam kilometer dan sudah mengairi sawah petani sekitar desa Pandere dan Kalawara di Kecamatan Gumbasa.

 

Sementara itu, untuk mengatasi kekeringan dalam jangka pendek, Kepala Balai Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Sulawesi Tengah, Ferry F Munir, Kamis, (21/02/2020) menyarankan petani untuk menggunakan inovasi sumur dangkal dan menanam komoditi tahan kekeringan, seperti jagung, cabe, dan varietas lainnya.

 

“ Ya, terbatas. Tapi kita kan prinsip daripada tidak sama sekali. Dengan dilakoni ( inovasi sumur dangkal, red), masih bisa ada upaya itu mengatasi kekeringan “, Jelasnya. (Job)