Features

Mengungkap Asal Mula Semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika'

Oleh: Budi Prihantoro Editor: Ari Dwi P 02 Apr 2024 - 15:15 Jakarta

EMPU Tantular adalah penyair terkemuka dalam sastra Jawa klasik abad ke-14. Ia mengarang ‘Kakawin Sutasoma’ yang menjadi salah satu ekspresi kebudayaan Indonesia.

Satu bait di antara ratusan pupuh di dalam kitab itu merupakan sumber kalimat ‘Bineka Tunggal Ika’. Kalimat yang akhirnya menjadi semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Masa Jawa Kuno

Pada era ini tradisi menulis karya sastra kembali mengemuka setelah sempat terputus selama empat abad. Sutasoma menjadi salah satu karya sastra besar yang dianggap melampui zamannya. 

Memang masih banyak karya sastra lainnya. Namun, Sutasoma merupakan yang paling epik.

Empu Tantular mengarang ‘Kakawin Sutasoma saat Kerajaan Majapahit sedang mencapai puncak kejayaan. Jadi jauh sebelum dimulainya zaman kolonial.

“Keindahan ‘Kakawin Sutasoma’ tidak hanya dalam unsur narasi. Keindahan juga terdapat dalam unsur filsafat khas Indonesia,” kata Profesor Robson, dalam buku terjemahan ‘Kakawin Sutasoma’ karya Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo.

Sang profesor yang merupakan ahli Jawa Kuno dari Monash University itu menyebut ajaran Empu Tantular tidak dianggap bertentangan. Termasuk aliran-aliran agama yang ditulis.

Kata ‘kakawin’ berasal dari bahasa Sanskerta yang para sastrawan Jawa mengartikannya sebagai hasil dari puisi keraton atau istana. Dan, sejauh ini belum ada satupun peneliti ‘Kakawin Sutasoma’ yang menemukan sumber aslinya.

Namun, dari mana sumber serta isi cerita pada umumnya, tidak dapat dihindarkan kesan bahwa Empu Tantular adalah pengikut ajaran Buddha. Ini terbaca dari bait-bait pertama dalam karya sastranya.

Empu Tantular misalnya menulis seperti “pada zaman-zaman yuga, Brahma, Wisnu dan Iswara (Siwa) turun ke bumi sebagai raja-raja. Demikian pula sekarang (zaman Kali), Sri Jinapati (Pemimpin para Buddha Jina) turun juga untuk menghancurkan si Jahat (Kala). 

Kisah pada bait pertama tersebut menurut  Zoetmulder, Buddha menjelma dalam diri pangeran Sutasoma. 

Ibu Sutasoma bernama Prajnyandari, seorang permaisuri kerajaan Hastina, sedangkan ayahnya bernama Mahaketu, raja bijak. Kelahiran Sang Putra mahkota disambut gembira keluarga, kerabat istana, dan seluruh rakyat. 

Paling mencolok adakah kulit si bayi mungil ini bersih nyaris tanpa noda. Lantas, Raja Mahaketu memberinya nama Sutasoma.

Berikut petikan cerita dalam buku 'Kakawin Sutasoma' hasil terjemahan bahasa Jawa Kuno ke Indonesia:

"Alkisah di Negeri Hastina, Sri Mahaketu, keturunan Wangsa Kuru, memerintah di antara para pahlawan agung, semua penguasa sangat menghormati dan mengabdi padanya; Permaisurinya Dewi Prajnyadhari dipuji oleh semua orang karena kecantikannya yang tiada tara," begitu cerita tentang ibu Sutasoma seperti ditulis Empu Tantular dalam pupuh I bait kelima. (I:5)

Tidak diceritakan perawatan penuh kasih yang dilakukan para putri istana kepada sang bayi. Saat dia mencapai usia sekitar tujuh bulan diadakanlah upacara. 

Pertumbuhannya pun tampak cepat. Raja mengumumkan dan beritanya disebarluaskan kepada seluruh rakyat, bahwa sang Pangeran diberi nama Sutasoma, karena raut-wajahnya yang sangat tampan. Dia membawa kebahagiaan besar kepada rakyat yang menganggapnya sebagai penjelmaan dewata. (III:1)

Begitu menginjak usia remaja sang pangeran enggan mendalami ilmu ekonomi-politik. Ia justru lebih suka mendengarkan wejangan para biksu dan pertapa, baik yang menganut ajaran Buddha maupun Tantra Shiva. 

Hingga akhirnya pada suatu malam tanpa bekal sepeserpun Sutasoma kabur dari istana. Ia mengembara untuk menemukan makna sejati kehidupan (sejatine urip)

Tidak perlu diceritakan lagi jalannya pelepasan sang pangeran. Dia pergi jauh ke arah selatan seolah pergi diam-diam untuk bersembunyi. 

Dia sampai pada sebuah desa di luar ibu kota, yang terletak di dekat persawahan. Bulan pun bersinar dengan terangnya. 

Sang raja gelisah, khawatir dengan hilangnya pangeran, yang tidak menemukan ketertarikan dalam kemuliaan kerajaan. Alhasil menghilang dari istana ketika para penjaga terlelap tidur. (VII:4) 

Setelah keluar-masuk hutan, Sutasoma bertemu dengan Biku Sumitra yang ternyata kakeknya sendiri. Ada dua hal penting yang disampaikan.

Pertama, Sutasoma kelak akan menikah dengan putri pamannya sendiri, Chandrawati, yang akan menjadi pendamping setia sekaligus sumber inspirasi dalam pelayanan kepada sesama. Kedua, ia harus “menaklukkan” Purushada, raja lalim yang selama ini menindas rakyat.

Pertapa Sumitra gembira hatinya dan menyapa sang pangeran dengan manis: "Tuanku, anakku, kedatanganmu ke sini merupakan anugerah bagi kebaktianku kepada dewata. Karena kamu adalah putra raja Kuru, aku menyebutmu cucu, dari garis keturunan sang ratu." (XVIII:2)

(Keterangan tentang hal itu adalah sebagai berikut). "Pada zaman dahulu Sri Rawibhoja mempunyai dua orang anak. Yang tua adalah Raja Subala, yang muda Jayasena, yaitu aku sendiri. Yang sejak kecil menunjukkan tanda dan perilaku seorang pandita.” (XIX:1)

“Setelah melewati masa kanak-kanak aku tinggal di hutan menjadi biksu. Kakakku menjadi raja setelah kematian ayahku. Dia mempunyai dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Yang sulung seorang pahlawan besar bernama Candrasinga.”  (XIX:2)

“Yang bungsu seorang putri yang sangat rupawan-dinamai Prajnadhari menikah dengan Raja Hastina. Dia tidak lain adalah ibundamu. Raja Candrasinga menjadi raja dan memerintah negeri.” (XIX:3)

“Setelah Raja Candrasinga wafat di dalam istana. Oleh karena sakit yang disebabkan diracun oleh orang jahat, putranya menggantikan dia sebagai raja. Ia terkenal ke seluruh dunia sebagai Raja Dasabahu. Seorang yang sangat sakti.” (XIX:4)

“Dasabahu mempunyai seorang adik wanita, putri jelita yang bernama Candrawati. Dia merupakan imbangan yang cocok untukmu, dan akan berbakti padamu di ranjang perkawinan, karena dia adalah sepupu mudamu, masih keluarga dekat."  (XIX:5) 

Diceritakan kalau sebenarnya Purushada merindukan kehadiran Sutasoma alias kehangatan belaian rembulan. Akhirnya terjadi pertemuan Sutasoma dan Purushada, tepatnya di kuil Batara Kala. 

Batara Kala menjawab sambil meneruskan sembahnya: "Di masa lampau, Hyang Baruna seorang dewa telah memberikan penghormatan kepada Rama penjelmaan Dewa Hari, berdasarkan rasa baktinya yang besar dan hal ini bukanlah merupakan suatu kesalahan. Demikian juga diriku yang memuja di kaki Mahajina.” (CXLIV:5)

“Selain itu alasanku mengundang yang mulia ke tempat ini dan berpura-pura hendak memangsa baginda dalam wujudku yang murka sebagai naga adalah, untuk berguru padamu supaya aku disucikan dari kejahatanku. Karena engkau sangat ahli dalam mengubah orang jahat terlepas dari segala kejahatannya." (CXLI:.6)

Demikian katanya. Sang Raja sangat girang hatinya menyaksikan kelakuan sang dewa. Bersama-sama dengan Naramangsa dia diizinkan untuk menjalani hidup sebagai seorang biksu di dalam gua yang dalam mereka menerima dhammadesana. Mereka membawa bunga-bunga, pakaian dan emas sebagai persembahan. (CXLIV:7)

Dari pertemuan di Batara Kala, tampak insting hewani (ego) Purushada larut dalam kehangatan cinta Sutasoma. Secara alamiah terjadi sebuah fenomena kesempurnaan spiritual dan kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa Empu Tantular berbunyi, 

“Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa, bhineki rakwa ring apan kena parwanosen, mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.” (CXXXIX:5) 

Terjemahannya adalah…

"Konon dikatakan Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang.”

“Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun, pada hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua.(Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa).

"Dalam Kakawin Sutasoma, pengertian bhineka tunggal ika lebih ditekankan pada perbedaan dalam bidang agama, tetapi dalam lambang negara Garuda Pancasila pengertiannya diperluas, tidak terbatas pada perbedaan agama, melainkan juga suku, bahasa, adat-istiadat, budaya dan perbedaan kepulauan,” kata Dwi Woro Retno dan Hastho Bramantyo, saat menerjemahkan ‘Kakawin Sutasoma’. 

Nah... 

Pesan persatuan "Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa" inilah yang kemudian merasuki Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya. 

Ini menjadi sebuah renungan bagaimana sentuhan unik dan interpretasi para pendiri bangsa yang tidak mengadopsi pemikiran filsuf dari Eropa, atau negara barat yang kerap mendapat perhatian luas dari dunia akademis. 

Penggunaan pemikiran filsuf seperti Empu Tantular adalah bentuk apresiasi terhadap kekayaan intelektual dan warisan budaya lokal. Karya-karyanya mencerminkan konteks budaya dan kearifan lokal yang juga memiliki nilai serta relevansi yang besar bagi masyarakat.

Kini, di era globalisasi budaya, konsep visioner "Bhineka Tunggal Ika" terus menjadi panduan untuk persatuan dalam keberagaman Indonesia. Mencerminkan kekayaan budaya, agama, hingga identitas bangsa.