Tekan Ketergantungan Rokok, 'KABAR' Ajak Gunakan Produk Tembakau Alternatif

Oleh: Hikmat Raharjo Oetomo Editor: 10 May 2020 - 11:53
KBRN, Denpasar : Ketergantungan terhadap rokok menjadi salah satu tantangan pemerintah dalam menjamin sektor kesehatan bagi masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, angka prevalensi perokok di Bali mengalami peningkatan. Perokok remaja dari tahun 2016 yang berjumlah 11,2% naik menjadi 14,1% pada tahun 2017.

Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) sekaligus Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR), Dr. Amaliya mengaku solusi mengurangi ketergantungan terhadap rokok telah terangkum dalam tobacco harm reduction.

Tobacco harm reduction merupakan konsep baru yang lebih humanis dalam menekan angka perokok di dunia. Salah satu kampanye yang dilakukan adalah mengalihkan perokok konvensional menggunakan produk tembakau alternatif yang tidak dibakar, melainkan dipanaskan.

"Jadi hasilnya bukan asap, tetapi uang. Jadi nikotinnya tetap diberikan atau tetap masuk didalam tubuh seorang perokok, tetapi TAR atau zat yang berbahaya ini sudah dihilangkan," ungkapnya kepada wartawan usai Diskusi Media bertajuk Wujudkan Bali Bersih Melalui Ekosistem yang Sehat 'Pengurangan Risiko Tembakau sebagai Solusi Mengatasi Masalah Rokok di Bali', Selasa (14/5/2019).

Penelitian dampak pengalihan perokok konvensional ke produk tembakau alternatif disebut untuk pertama kali dilakukan public health england. Hasil penelitian mengestimasikan, bahaya yang tereduksi pasca penggunaan produk tembakau rendah risiko mencapai 95%. Sejumlah negara disebut telah memberlakukan regulasi pengurangan risiko rokok.

"Sudah banyak, di Inggris, di Eropa itu Uni Eropa sudah punya regulasi. Bahkan di Italia sendiri sudah ada suatu centre untuk tobacco harm reduction. Di Italia itu ada University of Chatania. Lalu di Yunani kemarin anggota legislatif atau kalau di kita DPR dan MPR nya sudah mengkaji mengenai produk dengan bahaya yang sudah diturunkan ini. Dan mereka sudah memberi regulasi, berarti sudah boleh kan," tukasnya.

"Kemudian di Jepang, di Selandia Baru, kemudian di Kanada juga sudah. Bahkan terakhir Amerika Serikat kemarin BPOM atau FDA-nya Amerika sudah melegalkan salah satu produk dengan risiko yang menurun yaitu hit not burn product, jadi tembakau yang dipanaskan, bukan dibakar. Dan FDA-nya sudah memberikan izin untuk di Amerika Serikat," sambungnya.

Regulasi untuk menurunkan ketergantungan tembakau dikatakan Amaliya memberikan dampak signifikan. Seperti contoh di Inggris yang berhasil menurunkan prevalensi perokok konvensional diangka 14 - 20%.

"Nah bila itu diterapkan di Indonesia dengan jumlah perokok ketiga terbesar didunia, dan bisa mengurangi dampak atau penyakit yang diakibatkan dari merokok yang dibakar, alangkah bagusnya. Berarti sekian banyak perokok bisa beralih, kalau tidak bisa berhenti, beralihlah. Kalau tidak bisa berhenti, carilah alternatif lain yang bisa mengurangi bahayanya," ujarnya.

Upaya mengurangi risiko tembakau dipastikan bukan propaganda bisnis oleh produsen rokok elektronik (vape). Hal itu dijamin lantaran seluruh penelitian di dunia dilakukan para akademisi yang independen ataupun lembaga pemerintahan yang bekerja profesional.

"Jadi kalau penelitian itu kan selalu dilihat, dijurnal penelitian, apa conflict of interest atau apa pertentangan kepentingan yang ada disitu. Saya baca hasil penelitian, itu kebanyakan penelitian dari pemerintahan, dan juga dari akademisi. Jadi biasanya mereka peneliti yang ada disuatu institusi seperti universitas, atau institusi kedokteran, kesehatan. Kalau misalnya memang hasil dari suatu perusahaan, atau apapun pasti kelihatan," pungkasnya.