KBRN, Padang : Fajar menyingsing di ufuk timur, hangat menyapa pagi dengan sentuhan sinar keemasannya yang demikian menawan. Perempuan muda berseragam lengkap dengan baret berwarna biru tertata di kepala, tampak tergesa – gesa keluar dari sebuah rumah. Rintihan si kecil dari dalam rumah seakan berupaya menghadang langkah perempuan muda itu.
Bersamaan dengan itu, dari arah pintu, seorang bocah lelaki dalam kondisi sakit, terkulai lemah tidak berdaya dalam dekapan perempuan setengah baya yang tidak lain nenek sang bocah. Tidak ada pilihan lain bagi Yosi Anita, wanita penakluk api pertama di Indonesia yang selama kurun waktu 17 tahun telah mengabdikan diri untuk profesi yang dicintainya. Pada situasi tertentu, seringkali ia dihadapkan pada pilihan yang cukup rumit, katakanlah memilah antara kehidupan pribadi dengan tuntutan profesi yang menantinya di luar sana.
Meninggalkan anak dalam dalam kondisi sakit tentu bukan hal mudah bagi seorang ibu, Yosi salah satunya. Terlepas dari perasaan yang membelenggu, cinta dan kasih sayang yang teramat dalam kepada orang-orang yang dikasihi, idealnya ia harus bisa memposisikan diri. Apa pun kondisinya, ibu dua anak ini berupaya memantapkan hati dan pikiran karena menurutnya, pekerjaan Manggala Agni nyata adanya dan utama dari segalanya.
Begitu hebat dan luar biasa pengorbanan perempuan kelahiran Padang, 8 Mei 1981 ini dan tidak mengherankan jika sekiranya sampai detik ini, satuan brigade Pemadam Kebakaran Kota Padang masih mempertahankan perempuan tangguh dengan reputasi dan capaian prestasi yang membanggakan ini.
Berawal dari kecintaannya pada hal-hal yang berbau tantangan, Yosi yang ketika itu masih berstatus mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Kota Padang mencoba menjajal naluri kemampuannya pada salah satu instansi yang sepenuhnya bekerja untuk kepentingan masyarakat. Berbekal pengalaman sebagai relawan SAR, Yosi diterima bekerja dengan tugas awal sebagai operator. Tidak puas hanya duduk di kantor, sekedar menerima telp dan pengaduan dari masyarakat, Yosi mengajukan permohonan kepada atasan, diberi kesempatan bisa terjun langsung ke lapangan bersama rekan yang lain. Permohonannya diterima, Yosi memulai babak baru kehidupan sebagai petugas Manggala Agni, berbaur dengan risiko di berbagai medan.
"Apa pun pekerjaan, pasti memiliki risiko dan sejauh ini tidak ada penyesalan untuk profesi yang saya geluti," ungkapnya kepada RRI belum lama ini.
Puluhan tahun bergelut dengan asap, meredam keganasan lidah api dengan taruhan nyawa di badan, tidak sekali pun membuat perempuan yang akrab dipanggil Bang Yos ini menyerah, dalam artian surut langkah. Profesi sebagai Manggala Agni telah mendarahdaging dalam dirinya meski dalam gelap malam, ia harus bertarung melawan dingin, berpacu dengan waktu, demi menaklukkan kobaran si jago merah yang melalap habis toko-toko, rumah warga bahkan lahan tak berpenghuni di kawasan hutan belantara.
17 tahun bukan perjalanan waktu yang singkat, banyak liku dan pengalaman lapangan yang menjadikan anak kelima dari enam bersaudara ini makin mencintai profesi sebagai Manggala Agni, yang dengan ketulusan hati bekerja untuk semua orang yang membutuhkan pertolongan tanpa membedakan satu sama lain.
Kepada RRI, Yosi menceritakan pengalaman berkesan ketika ia dan rekan-rekannya berpacu dengan raungan sirene armada pemadam kebakaran Kota Padang menuju kawasan pemukiman di Belimbing, Kecamatan Kuranji.
Dalam perjalanan ke lokasi kebakaran, tiba-tiba mobil yang ditumpangi rekan-rekannya terjungkal hingga terbalik. Dua orang teman seperjuangannya menghembuskan nafas terakhir dalam menjalankan tugas mulia selaku Manggala Agni.
“Tidak bisa diungkap dengan kata-kata, pilu yang dirasakan ketika itu, pengorbanan luar biasa dari dua rekan yang kini telah tiada,” kenangnya sembari menghapus bening yang menetes di sudut mata.
Sebagai penakluk api, Manggala Agni harus siap tempur dalam berbagai kondisi medan. Musibah datang kapan saja, tidak ada pantangan atau istilah surut langkah ketika si jago merah berkobar, menjilati ruang di sekitarnya. Terbayang seketika, perjuangannya bersama rekan yang lain. Ketika sebagian lahan di Bukit Nobita, Kelurahan Kampung Jua, Kecamatan Lubuk Begalung dilalap si jago merah, Yosi bersama beberapa rekan menunjukkan kegigihan.
Sumber api yang berada jauh di atas ketinggian bukit menyebabkan selang air pemadam kebakaran susah menjangkau lokasi. Peralatan yang dikerahkan tidak leluasa memadamkan titik api yang menyebar pada berbagai lokasi. Pada saat itulah, perempuan yang hobi berpetualang ini menunjukkan kegigihannya.
Proses pemadaman api dilakukan dengan cara manual, hanya dengan menggunakan ranting pepohonan yang tumbuh di sekitar lokasi. Cukup menyita waktu hingga petugas yang dikerahkan memadamkan titik api di lapangan harus bermalam di rimba belantara. Peristiwa itu terjadi beberapa tahun silam dengan lokasi kebakaran, sebidang lahan di kawasan hutan Gunung Sariak, Kecamatan Kuranji. Titik api yang menyebar pada lahan perbukitan itu tidak serta merta bisa dijinakkan.
Asap mengepul, mengepung para petugas yang ketika itu berjibaku menaklukkan titik-titik api di ketinggian bukit. Panas mengincar kulit wajah, menyergap hingga ke pori-pori. Yosi Anita bersama rekan-rekan terus bertahan dengan peralatan yang ada.
Kondisi fisik tidak lagi dihiraukan, petugas berjibaku menghalau sumber api meski dalam suasana berpuasa. Kebersamaan dan kekompakan tim tetap dipertahankan hingga detik-detik terakhir menjelang masuknya waktu berbuka puasa, titik-titik api sudah bisa dijinakkan. Berbekal menu seadanya, Yosi bersama rekan yang lain berbuka puasa di hamparan ilalang. Memasuki Ramadhan hingga lebaran, tuntutan kerja petugas penakluk api di lapangan justeru makin berat.
Berdasarkan pengalaman tahun ke tahun, kasus kebakaran paling banyak terjadi pada dua momen tersebut. Pada saat dibutuhkan, tidak ada tawar menawar bagi seorang Manggala Agni. Keikhlasan hati ibarat pakaian sehari-hari. Anak dalam pangkuan pun harus dilepas saat panggilan darurat datang menyapa.
Bertahun menjalani profesi sebagai penakluk api bukan tidak pernah risiko di lapangan melukai diri seoran Yosi. Tidak terhitung kalinya petugas wanita ini tersungkur lantaran kayu bekas puing - puing terbakar menghadang langkahnya. Ia yang ketika itu fokus memadamkan api, tidak lagi menghiraukan benda-benda di sekililngnya. Perhatian tertuju pada lidah api yang menjilati benda-benda di sekitar lokasi.
Namun begitu, tidak ada sesal yang membayangi raut wajahnya. Dukungan dan support orang-orang terdekat menjadikan sosok Yosi Anita, sebagai pribadi tangguh, pantang menyerah dan menjunjung tinggi tanggungjawab dan tugas selaku Manggala Agni yang dalam setiap waktu dituntut masimal dalam kinerja.
Seperti apa sosok Yosi Anita di mata pimpinan, sebagaimana diungkapkan Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kota Padang, Hendrizal Azhar kepada RRI.
Keberadaan Yosi di instansi terkait sedikit banyaknya telah memotivasi kaum muda khususnya para perempuan untuk tidak memilah-milah pekerjaan, disiplin dan utamanya adalah menghargai waktu, meski dalam hitungan detik sekali pun.
“Detik menentukan nasib banyak orang,” tegasnya.
Bagi mereka yang memiliki naluri Manggala Agni seutuhnya, hitungan detik sangatlah berharga. Jika disepelekan, hal itu berujung maut yang menghancurkan kehidupan banyak orang. Sebaliknya , jika hitungan detik dioptimalkan untuk hal-hal yang bermanfaat, tidak sedikit jiwa tentunya yang bisa diselamatkan.