info-publik

Tantangan Perdamaian Dunia Semakin Kompleks

Oleh: Ninding Yulius Permana Editor: Agus Rusmin Nuryadin 10 May 2020 - 11:50 kbrn-pusat

Kemarin petang, Senin, 1 Juli 2019, waktu setempat, Saya memberikan pidato di depan Second International Forum “Development of Parliamentarism”, yang diselenggarakan di World Trade Center (WTC), Moskow, Rusia. Kegiatan ini, yang baru menginjak kali kedua, diinisiasi parlemen Rusia, Duma. Kegiatan tahun ini dihadiri delegasi 132 negara yang dengan sekitar 800 anggota parlemen berpartisipasi. Sebagai Ketua Delegasi DPR RI, saya didampingi oleh Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah.

Selepas acara pembukaan, ada tiga seksi pembicaraan. Ketiganya merupakan topik penting, yaitu membahas isu keamanan internasional, proses penyusunan undang-undang di era digital, serta mengenai kerja sama parlemen. Sebagai pimpinan parlemen yang membidangi politik, hukum dan keamanan, saya bicara di depan forum yang membahas isu keamanan. Berikut beberapa point yang disampaikan.

Indonesia adalah negara maritim. Itu sebabnya saya menyampaikan bahwa keamanan maritim (maritime security) merupakan isu penting yang perlu diperhatikan. Sejak zaman dulu, laut telah menjadi elemen penting dalam arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia. Dan di era digital sekarang ini, 90 persen perdagangan dunia masih dilakukan melalui jalur laut. Itu sebabnya semua negara harus berkepentingan agar keamanan maritim tetap terjaga. Bagaimanapun, pembajakan, perampokan bersenjata, penangkapan ikan ilegal (illegal fishing), penyelundupan manusia, juga terorisme, masih menjadi isu keamanan maritim.

Di bagian lain saya juga menekankan agar maritim tak boleh dijadikan arena konflik dan adu supremasi. Ini adalah arena perdamaian yang harus dijaga bersama. Itu sebabnya prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara universal harus terus dijaga. Di sini parlemen bisa memainkan peranan penting, terutama dalam mendorong konsultasi dan negosiasi yang lebih cair dan bersahabat terkait sejumlah sengketa, seperti yang terjadi di Laut Cina Selatan, misalnya.

Sebagai negara yang sering disebut sebagai ‘Benua Maritim’, Indonesia tentu saja telah ikut berupaya menjaga ketertiban dan perdamaian di laut melalui berbagai forum bilateral, regional dan multilateral. Kita, misalnya, memainkan peran penting dalam meningkatkan kerja sama maritim melalui IORA (The Indian Ocean Rim Association).

Di luar ancaman yang bersifat tradisional, ancaman lain yang membayangi stabilitas global adalah terkait keamanan dunia maya. Dunia kita saat ini memang dibentuk oleh kemajuan teknologi dan inovasi digital serta cyber. Teknologi digital dan cyber telah mendorong banyak sekali inovasi. Namun, jika tak dikelola, dunia maya dapat menjadi tempat berkembang biaknya teror, kebencian, dan juga berita palsu. Di tengah dunia yang saling terkoneksi, ancaman di satu belahan dunia bisa segera tereskalasi menjadi ancaman global.

Saya menggarisbawahi bahwa untuk menghadapi tantangan yang timbul dari penggunaan dan penyalahgunaan infrastruktur digital, masyarakat internasional perlu mengembangkan serta menyepakati prinsip-prinsip etika bersama yang menghormati prinsip kedaulatan negara. Dunia maya juga harus dikembangkan untuk mengentaskan kemiskinan serta mempromosikan demokrasi dan toleransi. Itu sebabnya kesenjangan digital antara negara maju dengan berkembang harus segera dijembatani.

Sebagaimana halnya di forum-forum lain yang saya hadiri, dalam pidato kemarin saya juga terus menyuarakan pentingnya solidaritas dan pembelaan terhadap kemerdekaan Palestina. Dukungan kita kepada rakyat Palestina merupakan amanat konstitusi sekaligus amanat para ‘founding fathers’, yang sejak dulu menegaskan jika setiap penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Dalam konstitusi Indonesia, menghapus ‘penjajahan’ disebut lebih dulu sebelum kata ‘perdamaian’. Jadi, mustahil kita bisa menciptakan perdamaian dunia jika kita masih mentolerir penjajahan satu bangsa atas bangsa lainnya.

‘Keadilan’ adalah kata kunci untuk menciptakan keamanan dan perdamaian. Dan inilah yang terus mendorong saya sebagai Ketua Tim Diplomasi Parlemen untuk terus-menerus mengangkat, misalnya, isu Rohingya dan juga Uighur di dalam berbagai forum internasional. Diskriminasi, penganiayaan, serta ketidakadilan seperti yang dialami kelompok minoritas Rohingya di Myanmar, serta kaum muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, tidak boleh dibiarkan terjadi di depan kita.

Untuk membangun arsitektur keamanan dan perdamaian, institusi parlemen memegang kunci penting. Anggota parlemen dari seluruh dunia harus berkomitmen dalam mendorong lahirnya produk legislasi yang mendukung budaya dan praktik perdamaian, meratifikasi konvensi-konvensi perdamaian internasional, serta mendorong rekonsiliasi antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Anggota parlemen juga harus memanfaatkan keanggotaan di organisasi-organisasi antar-parlemen untuk mendiskusikan solusi-solusi terbaik bagi keamanan dan perdamaian, termasuk melalui forum yang difasilitasi Duma ini.

Dengan kata lain, anggota parlemen harus bertindak sebagai agen perdamaian dan keamanan. Mereka harus bisa menerjemahkan komitmen internasional ke dalam undang-undang nasional negaranya dan mengawasi pelaksanaannya oleh pihak pemerintah.

Dr. Fadli Zon, M.Sc

(Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan; Ketua Tim Diplomasi Parlemen)