info-publik

Kasus Baiq Nuril dan Keadilan

Oleh: Anik Hasanah Editor: 10 May 2020 - 11:49 kbrn-pusat

KBRN, Surabaya : Sejak awal hingga akhir, kasus Baiq Nuril Maknun menyita perhatian publik. Endingnya, Presiden Joko Widodo memberikan amnesti setelah guru asal NTB itu divonis bersalah dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). Adakah yang salah dari putusan hakim?

Kronologis fakta-fakta hukum dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung Ri Nomor 574K/Pid.Sus/2018 tanggal 26 September 2018, menampilkan rekaman kejadian sebagai berikut :

1. Saksi korban menelpon BAIQ NURIL MAKNUN, dan dalam percakapan telepon tersebut Saksi Korban menceritakan peristiwa persetubuhan dengan orang Iain. Percakapan antara saksi korban ternyata direkam BAIQ NURIL MAKNUN tanpa sepengetahuan saksi korban.

2. Saksi IM mendatangi BAIQ kali meminta isi rekaman percakapan dengan alasan sebagai bahan laporan ke DPRD Mataram.

3. BAIQ NURIL MAKNUN akhirnya menyetujui mentransfer isi rekaman suara tersebut ke laptop milik saksi IM.Ternyata saksi IM, kemudian mendistribusikan isi rekaman pembicaraan yang melanggar kesusilaan tersebut kepada saksi MUH.

Oleh saksi MUH mendistribusikan lagi ke handphone milik M dan demikian seterusnya ke handphone LW, ID, S, Hl dan HAN.

Jaksa Penuntut Umum meyakini Baiq Nuril memiliki kesadaran penuh memindahkan isi rekaman pembicaraan yang ada di handphone ke laptop saksi IM merupakan pendistribusian dokumen elektronik berupa isi rekaman pembicaraan yang memiliki muatan pelanggaran kesusilaan.

Karenanya Baiq Nuril didakwa melakukan tindak pidana pelanggaran undang-undang ITE secara tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan.

Secara konstruksi hukum harafiah, perbuatan Baiq Nuril menyerahkan rekaman berisi muatan kesusilaan kepada saksi IM telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana, sehingga sesuai penafsiran harafiah tersebut Majelis Hakim Kasasi tidak keliru dalam menyatakan Baiq Nuril bersalah.

Akan tetapi, apa yang membuat kasus Baiq Nuril menarik, Presiden Jokowi, pada tanggal 15 Juli 2019, dengan mendasarkan pada alasan hukuman yang dijatuhkan kepada Baiq Nuril menimbulkan simpati dan solidaritas yang meluas di masyarakat telah menggunakan kewenangannya berdasar Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar untuk meminta pertimbangan pemberian amnesti kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk kepentingan Baiq Nuril.

Isi surat permintaan tersebut intinya menyatakan pemidanaan terhadap Baiq Nuril bertentangan dengan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat, dimana perbuatan Baiq Nuril semata-mata dilakukan sebagai upaya memperjuangkan diri dalam melindungi kehormatan dan harkat martabatnya sebagai seorang perempuan dan seorang lbu.

Tidak ada yang keliru dalam putusan Hakim dalam perkara Baiq Nuril karena unsur-unsur pasal pidana telah terpenuhi keseluruhannya. Akan tetapi, KUHP sebenarnya juga telah mengatur antara lain alasan yang dapat menghapuskan pidana, dimungkinkan seseorang tidak dipidana jika terpaksa membela diri untuk kehormatan

Dalam pandangan saya, ada tiga hal yang perlu digaris bawahi.

Pertama, Serangan verbal yang dilakukan terlebih dahulu (pnor fault) oleh saksi Korban kepada BAIQ NURIL MAKNUN berupa percakapan telepon peristiwa persetubuhan sebenarnya adalah bentuk pelecehan.

Kedua, pemerintah seharusnya memberikan perlindungan kepada tiap-tiap warga negara Indonesia dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan ataupun perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan, khususnya kaum perempuan (baik secara fisik maupun psikis);

Ketiga, tidak terbukti adanya niatan (mens rea) dari BAIQ NURIL MAKNUN untuk mendistribusikan materi kesusilaan, karena pentransferan data kepada saksi IM semata-mata didasarkan pada kepercayaan untuk bahan laporan kepada instansi pemerintah/ DPRD Mataram (membela diri untuk kehormatan kesusilaan);

Maka alasan-alasan tersebut seharusnya dapat dipertimbangkan sebagai alasan menghapuskan pidana sebelum putusan pidana dijatuhkan.

Saat ini Baiq Nuril sudah terlanjur divonis bersalah dan tidak ada upaya hukum lain yang tersedia, maka dalam hal ini tindakan Presiden Jokowi agar Baiq Nuril diberikan Amnesti sudah tepat.

Tetapi sayangnya, penerapan amnesti pada kasus-kasus pidana bergantung kepada diskresi presiden yang wajib memperoleh persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sehingga tidak akan memberikan jalan keluar bagi kasus-kasus lain seperti kasus yang menimpa Baiq Nuril.

Kasus Baiq Nuril seharusnya tidak terjadi jika pemeriksaan perkara pidana tidak didasarkan hanya atas dasar analisa kecukupan pemenuhan unsur-unsur pidana semata. Apabila praktek ini benar menjadi paradigma pemeriksaan perkara pidana saat ini di Indonesia, maka proses persidangan cukup dilakukan menggunakan robot atau kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dan profesi hakim menjadi tidak relevan.

Kadangkala profesi yang berhubungan dengan sistem dapat menimbulkan ketidakpekaan “desensitizee sehingga proses peradilan yang seharusnya mengedepankan pemeriksaan bukti-bukti dan fakta-fakta hukum secara keseluruhan dan adil menjadi layaknya proses otomatisasi. Terdakwa akan merasakan ketidakadilan menjalani proses formalitas belaka untuk menjadi Terpidana.

Saya selaku praktisi hukum benar-benar berharap ketidakadilan yang menimpa Baiq Nuril kedepannya tidak akan terulang lagi dan Majelis Hakim di Indonesia benar-benar dapat memeriksa kebenaran materiil suatu kasus pidana secara lengkap termasuk jika ada alasan-alasan penghapus pidana, karena sebenarnya tugas hakim tidak hanya sebatas memeriksa dan mengadili tetapi juga berpredikat selaku pemberi keadilan.

Penulis : Rahmat Santoso SH, Ketua Umum Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI).