info-publik

Mencari Keadilan dari Kursi Roda

Oleh: dodik setyo Editor: 10 May 2020 - 11:48 kbrn-pusat

KBRN, Padang: Permasalahan drg. Romi Syofpa, peserta CPNS 2018 di Kabupaten Solok Selatan yang dibatalkan kelulusannya oleh pemerintah setempat karena disabilitas, kini menjadi perhatian publik. Romi awalnya, tercatat sebagai dokter gigi berstatus pegawai tidak tetap (PTT) di Puskesmas Talunan sejak tahun 2016, salah satu daerah pelosok di Kabupaten Solok Selatan. Ia menggunakan kursi roda, karena mengalami lemah otot tungkai pasca melahirkan pada 2016. Kendati demikian, ia tetap direkrut sebagai dokter PTT oleh pemerintah, karena bisa memberikan layanan layaknya dokter gigi lainnya.

“Waktu jadi PTT gaji lumayan mencukupi untuk kebutuhan ekonomi, suami saya minta berhenti kerja untuk ikut saya disini (Puskesmas Talunan). Lalu pada 2017 kontrak PTT saya habis, rencanaya mau resign. Tapi karena tenaga dokter gigi kurang saya disarankan Dinas Kesehatan untuk tetap bekerja sebagai kontrak. Sudah menggunakan kursi roda saat itu, tapi tetap dipertahankan bekerja,” ungkap Romi pada RRI Padang, Jumat (26/7/2019).

Kemudian, pada akhir 2018, pemerintah membuka lowongan CPNS, termasuk di Solok Selatan. Kabar itu pun ditangkap gembira oleh Romi, yang selanjutnya memberanikan diri melamar, meski lowongan yang disediakan untuk formasi umum bukan disabilitas. Alasannya tidak aturan yang melarang bagi disabilitas untuk melamar formasi umum.

“Menurut versi saya, tidak ada aturan baku disability itu tidak boleh mengambil formasi umum. Formasi umum itu boleh diambil siapa saja,” bebernya.

Seleksi demi seleksi dilalui. Mulai dari administrasi, seleksi kompetensi dasar, hingga kompetensi bidang. Bahkan nilai Romi lebih tinggi dibanding satu orang pesaingnya. Tinggal lagi tahap pemberkasan. Namun pada saat itulah, isu liar yang membuat gundah Romi beredar, yakni dokter gigi berkursi roda tidak layak diterima. Sedih dan gelisah menyelimuti Romi.

“Saya sudah dinyatakan lulus dari BKN, senang hati kan. Lalu tahap pemberkasan. Di sini ada prosedur pemberkasan kesehatan jasmani dan rohani. Ada 6 prosedur, pemeriksaan mata, pemeriksaan jantung, pemeriksaan paru, pemeriksaan gigi, pemeriksaan penyakit dalam, kemudian pemeriksaan darah. Dari 6 itu saya dinyatakan normal. Tapi karena saya ditemukan kelemahan kaki, jadi spesialis internis sebagai ketua tim mengusulkan saya berkonsultasi dengan spesialis saraf. Hasilnya memang ada kelemahan otot tungkai, tapi itu tidak menganggu kerja saya. Di tahap inilah saya mendengar isu-isu, kalau dokter yang pakai kursi roda ini tidak layak bekerja, tidak bisa dikeluarkan surat keterangan kesehatannya. Cukup sedih ya, kok banyak argumen seperti ini. Padahal selama ini bekerja pakai kursi roda nggak masalah. Rasa-rasa ada yang mau merugikan saya,” tutur perempuan yang karib dipanggil Ami ini.

Romi pun berupaya untuk mencari informasi dan mediasi, mulai dari Bupati, Sekretaris Daerah, hingga Kepala Badan Kepegawaian Daerah. Namun informasi pasti tak kunjung didapat, justru surat pembatalan kelulusan yang mencuat. Pada 18 Maret 2019, Bupati Solok Selatan mengeluarkan surat, menganulir kelulusan Romi.

“Merasa janggal. Sontak saya naggis ketika itu. Sudah banyak saya melakukan mediasi sama pemerintah daerah secara pribadi. Mulai dari Bupati sudah beberapa kali, ke Sekda tidak mau menemui, ke sekretarisnya disuruh untuk ke Kepala BKD, nggak ada di tempat turun ke lapangan. Stres dibikinnya. Soalnya nggak ada penjelasan konkrit,” ucapnya.

Jangan ditanya lagi, sedih dan terpukul  sudah pasti. Romi tak lantas berhenti berjuang. Meski posisinya telah diisi oleh CPNS pesaingnya, namun Romi yakin masih ada jalan untuk mendapat keadilan. Mengadu ke Ombudsman hingga mengajukan gugatan hukum ditempuhnya. 

Kisah pilu dokter Romi menjadi perbincangan hangat di Sumatera Barat. Rumor liar bergulir mengikutinya. RRI pun mencoba berbincang dengan sejumlah pegawai di Dinas Kesehatan untuk mendapat perspektif mereka, terkait nasib dokter Romi. Banyak yang curiga ada permainan pejabat dibalik batalnya kelulusan dokter Romi.

“Kebetulan formasi disabilitasnya kosong, dia ikut formasi umum, lulus. Seharusnya kalau emang seperti itu dibunyikan di syarat pertama kali, kalau untuk disabilitas harus begini. Jabatan yang dilamar sudah diisi sama tetangga Sekda,” ucap seorang pegawai yang tak ingin disebutkan namanya.

Terkait nasibnya, dokter Romi sudah mengadu ke Ombudsman Sumatera Barat. Tindaklanjutnya, Ombudsman memastikan memanggil Bupati Solok Selatan untuk memberikan klarifikasi. Plt Kepala Perwakilan Ombudsman Sumatera Barat Adel Wahidi mengatakan, sebelumnya Ombudsman telah melayangkan permintaan klarifikasi melalui surat, namun tak mendapat jawaban. Kemudian Ombudsman datang ke kantor bupati, namun tak pula bisa bertemu dengan orang nomor satu di Solok selatan itu.

“Berdasar kondisi itu, Ombudsman mengirim surat panggilan pertama. Isinya meminta Bupati Solok Selatan, Muzni Zakaria selaku pejabat pembina kepegawaian untuk hadir langsung, tak boleh diwakilkan, pada Kamis 1 Agustus mendatang,” ungkap Adel.

Polemik dokter gigi Romi, perempuan berkursi roda yang dibatalkan kelulusan CPNSnya, sampai ke telinga Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit. Bahkan, Nasrul Abit mengaku, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat telah membentuk tim, yang berkesimpulan dokter gigi layak dinyatakan lulus. Untuk itu, Nasrul meminta Pemerintah Kabupaten Solok Selatan menyikapi hal ini dengan bijak dan mencarikan solusi terbaik.

“Tim saya bentuk mengatakan layak. Mengacu hasil dari pemeriksaan dokter, yang bersangkutan cacat di sebelah bawah, tidak mempengaruhi kerjanya. Nyatanya sampai hari ini masih bekerja,”ulas Nasrul Abit.

Tak hanya Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, bahkan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Tjahjo Kumolo berjanji akan menindaklanjuti polemik drg. Romi Syofpa Ismael.

“Belum dapat laporan detail ya, tapi saya sudah tahu dari berita media online. Ok, nanti diurus,” ucapnya usai menghadiri peringatan hari kesatuan gerak PKK di Padang, Kamis (25/7/2019).

Banyak simpati dan dukungan mengalir untuk dokter Romi. Namun hal itu tak lantas membuat Pemerintah Kabupaten Solok Selatan patah keyakinan, bahwa keputusan menganulir kelulusan dokter Romi merupakan langkah yang sesuai aturan. Hal itu ditegaskan Sekretaris Daerah Kabupaten Solok SelatanYulian Efi, sebab Pemerintah Kabupaten Solok Selatan tidak membatalkan SK CPNS, namun membatalkan seleksinya. Apalagi, dokter Romi belum dinyatakan lulus CPNS, karena tidak memenuhi tahap pemberkasan.

“Kita bukan menggagalkan, ketika itu masih berproser. Tes SKD berproses, tes SKB berproses. Setelah itu ada pemeriksaan kesehatan lagi berproses. Jadi belum tentu dia lulus selesai proses. Dia dibatalkan setelah melalui tahapan terakhir dari kesehatan,” terangnya.

Sementara terkait isu liar adanya permainan pejabat di Solok Selatan dalam pembatalan kelulusan CPNS drg. Romi, Sekda Yulian Efi menjawab, tidak ada. Sebab semua dilaksanakan sesuai prosedur.

“Nggak lah. Kita kan sesuai dengan regulasi. Nggak ada masalah itu,” jawabnya.

Polemik drg. Romi Syofpa, masih di tengah jalan. Namun permasalahan ini patut menjadi perhatian, karena kejadian ini tak lepas dari tidak terangnya aturan seleksi CPNS, yakni apakah disabilitas tetap bisa melamar jalur umum?. Semoga permasalahan ini segera mendapat keadilan dan titik terang.