politik

RUU Kamtansiber Akan Disahkan, Pengamat: Jangan Buru-Buru, Masih Banyak Kelemahannya

Oleh: Alfreds Tuter Editor: 10 May 2020 - 11:48 kbrn-pusat

KBRN, Jakarta : Pengamat dari IndoTelko Forum, Doni Ismanto Darwin meminta DPR untuk tak buru-buru dalam mengesahkan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (Kamtansiber) menjadi Undang-Undang. Lantaran dia menilai RUU ini masih banyak memiliki kelemahan.

Doni menyarankan agar RUU Kamtansiber ini dibahas oleh kabinet dan anggota Parlemen di periode mendatang.

“Idealnya RUU ini dibahas lagi dan jangan buru-buru disahkan karena semangatnya masih konvensional tak kekinian.  karena yang akan menjalani nantinya kan untuk masa depan,” tutur Doni dalam keterangan tertulisnya kepada Wartawan, Selasa (30/7/2019).

Seperti diketahui pada awal Juli 2019 lalu, DPR resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Keamanan dan Ketahanan Siber sebagai RUU inisiatif DPR. Hal ini diputuskan dalam Rapat Paripurna ke-157 Masa Sidang V tahun 2018-2019.  Namun pembahasannya masih menunggu Surat Presiden (Surpres) untuk mengutus menteri atau pimpinan lembaga untuk membahasnya bersama DPR.

Doni mengatakan masih banyak yang perlu diluruskan dalam draft RUU Keamanan dan Ketahanan Siber yang beredar. Misalnya soal definisi kamtansiber yang menurutnya masih terlalu luas dan tidak jelas. Hal itu nantinya berpotensi membebani industri dan regulator. 

“Sanksi resiprokal yang dikenakan kepada lembaga pemerintahan yang melanggar tidak jelas,” ungkapnya.

Lanjut Doni, di dalam Pasal 12 ada kewajiban untuk membuat salinan data elektronik, tapi tidak dijelaskan penyimpanannya di mana.

“Bagusnya secara eksplisit di level UU disebutkan kewajiban untuk data diletakkan di wilayah hukum indonesia,” tambahnya.

Kemudian kelemahan lain menuutnya draft UU ini mengamanatkan juga BSSN melakukan fungsi penapisan konten, ini memiliki potensi overlap dengan yang dilakukan kominfo sekarang.

“Belum jelas positioniong lembaga penyelenggara ketahanan siber dan hubungannya dengan BSSN, terutama misalnya dengan lembaga seperti TNI, yang menjadi garda terdepan pertahanan negara,” ujarnya.

Doni juga mengatakan bahwa pemerintah dan DPR perlu memperjelas definisi "kejahatan siber" ( cyber crime ) dan ketahanan siber ( cyber resillience ).

“Kalau dibaca secara umum masih sangat sedikit pembahasan di RUU yang terkait dengan cyber defense,” ucapnya.

Kemudian, Doni juga menyoroti tentang banyaknya pembahasan tentang perizinan.

“idealnya harusnya bagimana memberdayakan  dan memproteksi sumberdaya manusia di sektor siber dalam negeri,” katanya.

Hal itu menurutnya menyebabkan, draft RUU ini terkesan lebih menempatkan posisi siber dimonopoli oleh pemerintah.

“Ini bertentangan dengan semua teori tentang siber yang egaliter,” katanya.