internasional

Perlukah Indonesia Berperan Memediasi India-Pakistan Terkait Kashmir ?

Oleh: Retno Mandasari Editor: Heri Firmansyah 10 May 2020 - 11:46 kbrn-pusat

KBRN, Jakarta : Kekacauan di Kashmir sebagai dampak dari dicabutnya artikel 370 oleh pemerintah India yang sebelumnya memberikan hak otonomi daerah kepada Jammu dan Kashmir, dinilai memerlukan adanya campurtangan dari pihak ketiga. 

Khususnya, dalam meredam ketegangan India dan Pakistan, sebagai negara yang sama-sama mengakui kepemilikan atas Kashmir. 

Indonesia sebagai negara sahabat India dan Pakistan di wilayah Asiapun, dinilai perlu mengambil peran dalam meredam ketegangan kedua negara tersebut atas Kashmir, seperti yang disampaikan oleh pakar hubungan internasional dari universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah. 

Rezasyah menyatakan, Indonesia saat ini dinilai merupakan mitra terpercaya yang dapat menganjurkan kedua belahpihak untuk meredam ketegangan dan memulai proses dialog guna mencari solusi atas dampak dicabutnya artikel 370 oleh India. 

"China mereka tidak percaya,karena saat ini bersama Pakistan. India sama Rusia. Amerika Serikat dulu pernah mendukung Pakistan, Rusia mendukung India. Jadi, negara-negara besar sulit dipercaya oleh pihak bersengketa. Harus cari pihak ketiga, Eropa tidak juga hanya Indonesia,"ungkap Rezasyah ketika ditemui RRI, Senin (19/8/2019), di Jakarta. 

Meski demikian, menurut Reza, prinsip kehati-hatian dan bersikap netral, tetap perlu dikedepankan Indonesia dalam menjalankan perannya itu. 

"Karena, kalau kita memberi sinyal memihak salah satu (negara), itu perdamaian bisa bubar,"imbuhnya. 

Rezasyah menegaskan, peran Indonesia itupun merupakan perwujudannya sebagai anggota tidak tetap di Dewan Keamanan PBB periode 2019 - 2020. 

"Kemudian, Indonesia harus meyakinkan kedua belah pihak bahwa PBB akan bersikap sangat adil, "balance". Indonesia harus minta "Senior PBB" untuk hadir, persis seperti dulu PBB datang untuk meninjau Timor-Timur. Jadi, seorang wakil khusus PBB, syukur-syukur kepercayaannya Sekjen PBB dan pangkat diplomatik tertentu untuk melihat apakah benar dituduhkan itu benar-benar terjadi,"jelas Rezasyah. 

Menurut Teuku Rezasyah, setidaknya terdapat tiga pilihan yang bisa diambil sebagai solusi dari kekacauan Kashmir. 

"Berdialog iya, tapi yang paling penting adalah berkonsultasi dengan masyarakat di Kashmir. Yang berada di bawah Pakistan, apakah mereka "happy" dengan Pakistan atau mau gabung dengan India?ataupun sebaliknya. Karena, kita harus melihat akar masalahnya. Kalau sudah begitu salah satu skenarionya adalah tetap otonomi khusus, tapi dengan pengawasan Sekjen PBB. Kemudian, mengijinkan kedua belah pihak India dan Pakistan,agar masyarakat di sana untuk melakukan pendapat umum "act or rechoice" dibawah supervisi PBB. Ketiga adalah, dijadikan sebuah negara baru tapi netral. Negara baru Kahsmir tidak menginduk pada Pakistan maupun India, tapi dalam konstitusinya menyebutkan bahwa dia adalah negara anti perang,"paparnya.

Pemerintah Indonesia melalui pelaksana tugas juru bicara kementerian luar negeri RI, Teuku Faizasyah, mengatakan, meski mengapresiasi keinginan Pakistan yang mengharapkan Indonesia membawa isu Kashmir untuk dibahas didalam sidang Dewan Keamanan PBB. 

"Sah saja setiap negara memiliki cara atau penyelesaian,"pungkas Faizasyah. 

Namun, Faizasyah menjelaskan, saat ini Indonesia mendorong agar India dan Pakistan mulai melakukan dialog dan komunikasi terhadap permasalahan yang ada. 

"Kita mendorong dua negara sahabat ini mengenai masalah komunikasi,"imbuhnya lagi. 

Faizasyah juga membenarkan bahwa menteri luar negeri RI, Retno Marsudi, telah memanggil wakil duta besar India di Jakarta, Shri Prakash Gupta, membahas mengenai kekacauan Kashmir dan saat itu Indonesia menekankan akan pentingnya perdamaian tercipta di masing-masing wilayah.

"Kita menggarisbawahi apabila terjadi konflik terbuka tidak ada negara yang diuntungkan dan justru akan merugikan. Tidak hanya kedua negara, tapi negara-negara di kawasan yang lebih lagi. Jadi, ada ancaman pertumbuhan tidak saja di Asia Selatan, tapi meluas ke kawasan lainnya,"tegas Faizasyah. 

Permasalahan Kashmir juga mendapatkan perhatian khusus dari duta besar Pakistan di Jakarta, Abdul Salik Khan, yang menyatakan, meminta Indonesia dan masyarakat internasional, diharapkan memberikan dukungan terhadap penyelesaian masalah Kashmir. 

"Kami sebagai rakyat Pakistan dan sebuah negara Pakistan mengharapkan masyarakat internasional dan juga Indonesia untuk berdiri dan menyatukan tangan untuk mendukung Kashmir. Sebab, permasalahan di sana itu adalah mengenai kemanusiaan,"harap Abdul Salik. 

Abdul menegaskan, penyelesaian Kashmir harus berdasarkan pada resolusi internasional, yaitu memberikan kebebasan kepada masyarakat Kahsmir untuk menentukan pilihan apakah bergabung dengan India maupun Pakistan.

"Jadi, perubahan status Jammu dan Kahsmir oleh India adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh masyarkat Kashmir, masyarakat internasional, dan Pakistan. Kami menginginkan keputusan akhir Kashmir itu mengacu pada resolusi Kashmir dan "voting" PBB, dimana masyarakat Kashmir memiliki hak untuk menentukan kenegara mana mereka akan bergabung,"tegasnya. 

Wakil duta besar India di Jakarta, Shri Prakash Gupta, ketika ditemui di sela-sela hari kemerdekaan India ke - 73, 15 Agustus lalu, enggan berkomentar mengenai kekacauan di Kashmir. 

"Saya memilih untuk tidak berkomentar terkait isu tersebut, sebab hari ini adalah hari kemerdekaan dan kita di sini untuk merayakannya. Mengenai Kashmir telah disampaikan oleh Juru Bicara India dan telah dicantumkan di situs resmi. Jadi, Anda bisa melihatnya di sana,"ungkap Prakash.

Prakash menambahkan, ia tidak memungkiri bahwa telah dipanggil oleh menlu Retno Marsudi pada 14 Agustus, namun ia lebih memilih menganjurkan awak media untuk mengkonfirmasi berbagai poin pembahasan kepada pihak kemenlu RI.

"Iya memang benar kemarin saya telah bertemu dengan ibu Menlu, beliau sangat ramah dan menerima kedatangan saya untuk berdiskusi,"ujarnya.

Sejarah mencatat India dan Pakistan berperang memperebutkan wilayah Kashmir pada Perang India-Pakistan tahun 1947 dan dalam Perang Kargil tahun 1999. 

Sejak dicabutnya artikel 370 pada 5 Agustus 2019 oleh India, setidaknya ribuan politisi, aktivis hingga akademisi Kashmir diduga ditahan dibawah Public Safety Act (PSA).

Sementara, dengan dicabutnya artikel 370 menjadikan Jammu, Kashmir, dan Ladakh sebagai negara bagian baru India mulai 31 Oktober 2019. 

Penetapan ketiga negara bagian baru itupun diatur oleh India dalam rancangan undang-undang (RUU). (Foto: YouTube.com)