KBRN Jakarta : Pemberian Grasi oleh Presiden Joko Widodo kepada Neil Bantleman, pelaku tindak Pidana Kekerasan seksual terhadap anak di Jakarta Internasional School atau Jakarta Inter Cultural School adalah masalah yang serius.
Menurut Ketua Lembaga Perlindungan anak Indonesia Seto Mulyadi Presiden Jokowi pada tahun 2016 menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luaar biasa.
"Dengan penetapan status tersebut,
Presiden Joko widodo menegaskan bahwa terkait masalah kejahatan seksual
pada anak, negara akan hadir jauh lebih serius. Hadir untuk menciptakan
keamanan bagi masyarakat, hadir dengan ketegasan ekstra bagi pelaku, dan
hadir dengan keberpihakan utama bagi korban. Namun nyatanya Presiden
sendiri memberikan grasi kepada penjahat predator anak," ungkap Seto
Mulyadi kepada Wartawan di Jakarta Selasa (20/8/2019)
Dikatakan
Seto Mulyadi Pihaknya bersama keluarga korban Kuasa hukum akan
mempertanyakan alasan Presiden memberikan grasi kepada Pelaku tindak
pidana kejahatan seksual terhadap anak Neil Bantleman.
"Kami
sudah menulis surat kepada Presiden Joko Widodo untuk bertemu dengan
korban dan keluarga serta minta penjelasan beliau terkait pemberian
memberikan grasi kepada Neil Bantleman yang sangat melukai perasaan
korban dan keluarga yang berharap mendapatkan keadilan dan pemberian
grasi ini menjadi konttadiksi dengan pernyataan Presiden agar negara
hadir memberi perlindungan kepada masyarakat," katanya.
Dijekaskannya
sebenarnya hukuman bagi pelaku tindak pidana kejahatan seksual terhadap
anak hukumannya sangat tinggi namun pada implementasinya masih jauh
darinya harapan.
"Menjelang akhir 2016 eksekutif dan wakil rakyat
bersepakat untuk melakukan revisi kedua atas Undang-Undang
Perlindungan Anak. Hasilnya adalah UU Nomor 17/2016. Undang-undang ini
menandai ketegasan hukum yang luar biasa terhadap para pelaku kejahatan
seksual pada anak," ungkapnya.
Meski masih
terkesan garang sebatas di atas kertas, UU Nomor 17/2016 secara khusus
memuat sejumlah bentuk pemberatan sanksi bagi para pemangsa anak-anak
ini.
Isi undang-undang tersebut satu tarikan napas dengan sekian banyak
undang-undang serupa di negara-negara lain, yakni menerapkan filosofi
retributif dan incapacitation terhadap jenis kejahatan yang satu ini.
"Tiga
tahun berlalu, kesungguhan pemerintah untuk mengimplementasikan UU
Nomor 17/2016 masih terus dipertanyakan oleh masyarakat luas, khususnya
para korban dan keluarganya," jelasnya.
Seto Mulyadi mempertanyakan sikap keberpihakan Eksekutif terhadap korban dengan diberikannya, grasi Presiden bagi Neil Bantleman
"Kami
pandang sebagai sebuah anti-klimaks yang amat disesalkan. Kami
mempertanyakan keseriusan kita semua, terlebih lagi sikap konsekuen
pemimpin eksekutif kita, tentang seberapa teguh pendekatan ekologis
(ecological approach) senantiasa diletakkan di posisi paling depan pada
setiap masalah atau kasus anak," tuturnya.
Sementara itu kuasa
hukum keluarga korban Tomy Sihotang menyatakan, hingga saat ini Korban
tidak mendapatkan keadilan baik berupa ganti rugi materi maupun trauma
yang berkepanjangan.
"Korban Ananda M dan keluarga belum
mendapatkan ganti rugi sehingga kami melayangkan gugatan secara perdata
terhadap pelaku dan Jakarta Internasional school atau Jakarta Inter
Cultural School ke Pengadilan Jakarta Selatan," tandasnya.