hukum

LPAI Sesalkan Pemberian Grasi Bagi Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual di JIS

Oleh: Suhanda Editor: 10 May 2020 - 11:46 kbrn-pusat

KBRN Jakarta : Pemberian Grasi oleh Presiden  Joko Widodo kepada Neil Bantleman, pelaku tindak Pidana Kekerasan seksual terhadap anak di Jakarta Internasional School atau Jakarta Inter Cultural School adalah masalah yang serius.

Menurut Ketua Lembaga Perlindungan anak Indonesia Seto Mulyadi Presiden Jokowi pada tahun 2016 menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luaar biasa.

"Dengan penetapan status tersebut, Presiden Joko widodo menegaskan bahwa terkait masalah kejahatan seksual pada anak, negara akan hadir jauh lebih serius. Hadir untuk menciptakan keamanan bagi masyarakat, hadir dengan ketegasan ekstra bagi pelaku, dan hadir dengan keberpihakan utama bagi korban. Namun nyatanya Presiden sendiri memberikan grasi kepada  penjahat  predator anak," ungkap Seto Mulyadi kepada Wartawan di Jakarta Selasa (20/8/2019)

Dikatakan Seto Mulyadi Pihaknya bersama keluarga korban Kuasa hukum akan mempertanyakan alasan Presiden memberikan grasi kepada Pelaku tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak Neil Bantleman.

"Kami sudah menulis surat kepada Presiden Joko Widodo untuk bertemu dengan korban dan keluarga serta minta penjelasan  beliau terkait pemberian  memberikan grasi kepada Neil Bantleman  yang sangat  melukai perasaan korban dan keluarga yang berharap mendapatkan keadilan dan pemberian grasi ini menjadi konttadiksi dengan pernyataan Presiden agar negara hadir memberi perlindungan kepada  masyarakat," katanya.

Dijekaskannya sebenarnya hukuman bagi pelaku tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak hukumannya sangat tinggi  namun pada implementasinya masih jauh darinya harapan.

"Menjelang akhir 2016 eksekutif dan wakil rakyat bersepakat untuk melakukan revisi  kedua atas Undang-Undang Perlindungan Anak. Hasilnya adalah UU Nomor 17/2016. Undang-undang ini menandai ketegasan hukum yang luar biasa terhadap para pelaku kejahatan seksual pada anak," ungkapnya.

Meski masih terkesan garang sebatas di atas kertas, UU Nomor 17/2016 secara khusus memuat sejumlah bentuk pemberatan sanksi bagi para pemangsa anak-anak 
ini. Isi undang-undang tersebut satu tarikan napas dengan sekian banyak undang-undang serupa di negara-negara lain, yakni menerapkan filosofi retributif dan incapacitation terhadap jenis kejahatan yang satu ini.

"Tiga tahun berlalu, kesungguhan pemerintah untuk mengimplementasikan UU Nomor 17/2016 masih terus dipertanyakan oleh masyarakat luas, khususnya para korban dan keluarganya," jelasnya.

Seto Mulyadi mempertanyakan sikap keberpihakan Eksekutif terhadap korban dengan diberikannya, grasi Presiden bagi Neil Bantleman

"Kami pandang sebagai sebuah anti-klimaks yang amat disesalkan. Kami mempertanyakan keseriusan kita semua, terlebih lagi sikap konsekuen pemimpin eksekutif kita, tentang seberapa teguh pendekatan ekologis (ecological approach) senantiasa diletakkan di posisi paling depan pada setiap masalah atau kasus anak," tuturnya.

Sementara itu kuasa hukum keluarga korban Tomy Sihotang menyatakan, hingga saat ini Korban tidak mendapatkan keadilan baik berupa ganti rugi materi maupun trauma yang berkepanjangan.

"Korban Ananda M dan keluarga belum mendapatkan ganti rugi  sehingga kami melayangkan gugatan secara perdata terhadap pelaku dan Jakarta Internasional school atau Jakarta Inter Cultural School ke Pengadilan Jakarta Selatan," tandasnya.