info-publik

Nasionalisme Terbentur Garis Keturunan, Aku Tionghoa Aku Indonesia

Oleh: Benny Hermawan Editor: 10 May 2020 - 11:46 kbrn-pusat
KBRN, Surabaya : “Namaku memang Cina, Tionghoa tapi aku tetap orang Indonesia, darah dagingku untuk Indonesia,”. Itulah kata-kata yang dilontarkan Lim Kiem Hau.

Kiem Hau merupakan warga Surabaya. Ia tinggal dan lahir di Tambak Bayan, sebuah kampung kecil yang hampir 90 persen penduduknya etnis Tionghoa. 

Malam itu Gepeng panggilan Kiem terlihat sibuk, ia tengah mempersiapkan acara besar, syukuran atas kemerdekan Indonesia. 

Tasyakuran memperingati HUT RI ke-74 di kampung Tambak Bayan itu semakin meriah tatkala lagu-lagu kemerdekaan terdengar, ditambah hadirnya anak-anak hingga generasi tua semakin menambah keguyuban

“Setiap warga kampung secara swadaya membawa makanan. Jadi ada yang kebagian membawa nasi, ayam tempe dan lauk pauk, ada tumpengnya juga, Ini bentuk ucapan syukur kami atas kemerdekaan Indonesia,” ujar Kiem pada perayaan tasyakuran 16 Agustus lalu.

Apa yang dilakukan mungkin terkesan umum bahkan jamak dilakukan kampung-kampung lainnya, tapi bagi warga kampung di Pecinan itu, ini bisa jadi pesan bahwa mereka ada untuk Indonesia.

“Memang leluhur dari sana (red : Cina), tapi Kakek dan Nenek ku saja lahir disini, berarti ya kita semua dari Indonesia bukan Cina, kita tetap bertumpah darah Indonesia,” terangnya.

Diakui Gepeng tidak mudah  menunjukkan identitas bahwa mereka bagian dari Indonesia, hanya semangat nasionalisme yang bisa jadi bukti, dirinya juga tak mempermasalahkan olok-olok Cina bahkan dicap non pribumi, karena baginya apa yang bisa diperbuat untuk negeri, itu menjadi hal utama.

“Ya aku cuek aja wong aku Indonesia, bahasa Cina aja aku gak bisa, Mamaku aja Jawa, kalau aku misalkan di suruh ke Cina ya nemui siapa juga disana, gak ada yang kenal,” ujarnya.

Bagi Danny Sumanjaya tokoh pemuda kampung Tambak Bayan, etnis Tionghoa sebenarnya sama dengan etnis-etnis lain.

Masalah nasab atau keturunan yang membuat banyak orang menyebutnya non pribumi, padahal ia mengaku bagian kecil dari penduduk Indonesia dengan beragam suku bangsa dan bahasa.

“Kenapa membeda- bedakan. Kita itu di Indonesia, mari kita junjung negara kita, bukan negara lain,” terangnya 

Liong Kem Oie ditemui dikediamannya pada 28 Agustus kemarin juga tidak menampik bahwa saat ini banyak orang garis keturunan Tionghoa menjadi sasaran kebencian.

Ia merupakan generasi ke tiga dalam silsilah keluarga yang tinggal di Surabaya. Perempuan 53 tahun ini hanya tau cerita dari sang Mama akan kisah leluhurnya.

Memang mata Kem Oi terlihat sipit  dan berwajah oriental, tapi itu bukan jadi alasan untuk menjadi pembeda. Ia lahir, besar dan mengais rezeki di tanah air, bahkan Ayahnya pun meninggal di Surabaya yang merupakan bagian dari Indonesia.

“Ya diluar ada yang kayak gitu, tapi di kampung Tambak Bayan tidak ada, kita hidup rukun, saya saja tidak ganti nama, walaupun nama Indonesia, orang anggapnya tetap Cina, padahal kita ya Indonesia, Mama aja lahir di sini, prihatin juga masih ada diskiriminasi,” paparnya.

Ketua RT 2, RW 2, Kelurahan Alun-alun Contong, Kecamatan Bubutan, Surabaya, Suseno Karja menjelaskan terdapat  50 Kepala Keluarga yang bermukim diwilayahnya.

Seno bercerita kemajemukan yang terjalin ditengah intoleransi yang dapat dikatakan masih tinggi.

“Inilah bagian warga dari kota Surabaya, kehidupan ya seperti ini. Kalau ada umat muslim hari raya kita ya kasih ucapan, begitu sebaliknya ada imlekan warga muslim juga berkunjung. Kita sama, tapi yang membuat tidak sama ya yang diluaran sana itu,” ujar Seno tanpa merinci apa yang dimaksud.

Di Tambak Bayan Tengah kata Seno dihuni banyak etnis, baik itu Madura, keturunan Cina bahkan Jawa. Semua menjadi satu tanpa ada sekat, sebab warga mempunyai prinsip mereka sama dilahirkan dan dibesarkan di Surabaya.

“Disini mayoritas Tionghoa, Jawa ada, Madura juga ada, rata-rata mata pencaharian warga serabutan, ya disini secara ekonomi masih berada di bawah garis kesejahteraan,” ungkap pria yang mempunyai panggilan Tionghoa Asiong ini. 

Sesepuh Warga Tambak Bayan Nio Kuee Hing atau biasa disapa Mbohai, juga menceritakan semangat ke Indonesian.

Sembari menyeruput kopi, Ia berusaha mengingat kembali memorinya dimasa lalu. Ia menerawang jauh di masa Orde Baru, bagaimana penghuni rumah petak Tambak Bayan hidup mengikuti perkembangan politik waktu itu.

Saat itu, dirinya tidak bisa melakukan aktivitas ekonomi selayaknya penduduk lain, pun juga masalah administrasi kependudukan.

“Dulu setiap tahun harus melapor ke imigrasi dan ke kantor polisi. Orang Cina itu ada buku biru hitam dan hobiru namanya, dulu KTP gak ada jadi harus lapor, baru 1989 KTP baru keluar,” kata Mbohai.

Mbohai memberikan penyemangat bahwa etnis Tionghoa merupakan bagian dari Indonesia, sama halnya dengan suku dan etnis lainnya. Etnis Tionghoa juga punya kewajiban dan tanggung jawab yang sama yakni menjaga dan merawat Indonesia.