internasional

Hadapi Ketidakpastian Global, ASEAN Harus Lebih Solid

Oleh: Kharisma Rizki Yulistiadi Editor: Nugroho 10 May 2020 - 11:45 kbrn-pusat
KBRN, Jakarta : Di  tengah  ketidakpastian  global  saat  ini,  satu-satunya  pilihan ASEAN adalah  tetap  bekerja  sama  dan  membina  hubungan  kerja  sama  agar  semakin  solid.  Hal  ini disampaikan  Staf  Khusus  Mendag  Bidang  Isu-isu  Strategis  Perdagangan  Internasional,Lili  Yan  Ingdalam acara the 12thASEAN and Asia Forum (AAF) di Singapura,pada Jumat (29/8/2019).

Acara tersebut mengangkat  tema  "The  Sino-American  Conflict  and  ASEAN:  Surviving,  Transforming,  Suceeding".Dalam paparannya, Lilimembahas respons ASEAN dan strategi indonesia di tengah ketidakpastian global."

ASEAN   kini   mengalami   ketidakpastian   baik   dari   sisi   politik   maupun   ekonomi   akibat   dari memanasnya  hubungan  dagang  AS-China.  Di  sisi  ekonomi,  perang  dagang  AS-China  juga  telah mempengaruhi supply  chainsdan  sentimen  dunia  usaha  bahkan  menambah  kekhawatiran  akan adanya  kebuntuan  melampaui  urusan  dagang  dan  teknologi.  

Di  tengah  kondisi  seperti  saat  ini, ASEAN tidak memiliki pilihan lain kecuali untuk tetap bersama, tentunya dengan ditopang ekonomi domestik yang kuat,"jelas Lili. Turut  hadir dalam  pertemuantersebut,  Menteri  Perdagangan  dan  Industri  Singapura,  Chan Chun Sing, Selasa (3/9/2019).   

Mendag   Chan   menyampaikan,   ASEAN   harus   mempertahankan   sekaligus   memperkuat sentralitas sebagai kawasan. Selain itu, ASEAN harus melipatgandakan upaya untuk menjadi mitra ekonomi yang giat dan atraktif. Menurut  Chan,  yang  menjadi  komposisi  kunci  untuk  mewujudkan  sentralitas  ASEAN  adalah koherensi,  komitmen,  kepercayaan  diri,  dan  konsistensi.  

Penting  untuk  negara-negara  anggota ASEAN untuk menghindari kebijakan yang populis dan menekan.Lili juga menyampaikan, masing-masing negara ASEAN meningkatkan kapasitas sektor manufaktur dengan  mempertahankan  (atau  meningkatkan)  kontribusi  paling  sedikit  25persendari produk domestik  bruto (PDB).  

Selain  itu,  80  persen  dari  total  angkatan  kerja  di  ASEAN  adalah  lulusan sekolah  menengah.  Sementara  itu,  negara-negara  seperti  Jerman,  Jepang,  dan  Korea  Selatan mempertahan  sektor  manufaktur  lebih  dari  20  persen  dari  PDB  karena  sektor  manufaktur  dapat memberikan  sumber  pendapatan  yang  relatif  stabil  bagi  mayoritas  penduduk  dan  juga  sumber inovasi.

Untuk  itu, lanjutnya, perdagangan  intraASEAN  perlu  ditingkatkan dalammeningkatkan economies of  scale  of  production  sehinggabisa tap  opportunitiesnegara  mitra  dagang  utama  di  Asia,yaitu Chinadan  India. “ASEAN  perlu  memanfaatkan  potensi  ini  dengan  simplifikasi rules  of  origin dan streamliningnontariff measures,”jelas Lili dalam pemaparannya.

Di  awal  paparannya,  Lili  mengemukankan  tantangan  perdagangan  ekonomi  dunia. Pertama, meningkatnya antiglobalisasi. Di kawasan G20, dalam kurun waktu Oktober 2018 hingga Mei 2019, import   restrictive   measuresmeningkat   3,5   kali   lipat   dibanding   rata-rata   jumlah restrictive measuressejak  Mei  2012.

Measures tersebut  teradapat  pada  USD355  miliar  perdagangan  dunia atau 18,2 persen dari total perdagangan dunia.
Kedua,  sistem  perdagangan  multilateral (multilateral  trading  system)yang  semakin  lemah.  Bila tidak  ada  pengangkatan  anggota  Badan  Penyelesaian  Sengketa  (Dispute  Settlement  Body/DSB) yang  baru,  maka  pada  Desember  2019,  DSB  hanya  beranggotakan  satu  anggota  panel  dan  tidak dapat  berfungsi.  Ini  berarti  kita  harus  bersiap  dengan  peningkatan  perdagangan  bilteral  dan pejanjianperdagangan   bebas   di   kawasan   (regioal   FTAs)   dalam   perdagangan   duniayang dikombinasikan dengan tindakan hukuman sepihak (punitive unilateral actions).

Di samping itu, lanjut Lili, salah satu strategi utama Indonesia untuk mempertahankan ekonominya adalah dengan cara mereformasi agenda perdagangan dan investasi agarlebih terintegrasi dengan perekonomian dunia. Lili  juga  menjelaskan,  Uni  Eropa  (UE)  adalah  aspirasi  tetapi  bukan  contoh  acuan  bagi  ASEAN. ASEAN  tidak  akan  membentuk  serikat  pabean (custom  union)persatuan  moneter (Monetary Union)seperti  halnya  EU  karenaadanya  kesenjangan  tingkat  pembangunan.

"Sebaliknya,  ASEAN menjadikan  diri  sebagai  penghubung  untuk  kegiatan  produksi (production  hub)yang  dapat memberikan kemudahan aliran barang, modal, dan tenaga kerja terampil," imbuhnya.Saat yang bersamaan, ASEAN bukanlah suatu kawasan ekonomi yang selfcontained. ASEAN masih bergantung dari  permintaan  akhir dari  EU dan  AS,  serta  sumber  modal dan  teknologi dari  Jepang dan  Korea  Selatan.

Maka,  ASEAN  saat  ini berkonsentrasi  mempererat  kerja  sama  ekonomi di  Asia Timur dengan    bekerja    keras   agar    Kemitraan    Ekonomi    Komprehensif    Regional    (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) dapat selesai secara substansi akhir tahun ini.“Saat ini Indonesia bersama negara-negara  ASEAN,  Jepang,  China,  Korea,  India,  Australia  danSelandia  Baru  berupaya  keras  merampungkan  perundingan  RCEP  di  akhir  tahun  ini.  

RCEP  adalah perjanjian  perdagangan  terbesar  di  dunia  yang  merepresentasikan  50  persen  populasi  dunia,  30 persen total perdagangan dunia, dan 28 persen investasi asing (FDI) dunia,"ungkap Lili.

Lili  juga  menyampaikan,  pertumbuhan  ekonomi  Indonesia diprediksi sebesar  5,2  persenuntuk tahun ini dan 5,3 persen untuk dua tahun ke depan. Angka inijauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi  negara-negara  berkembang  sebesar  4,4persen.  Indonesia  akan  terus  melanjutkan pertumbuhan ekonomi berbasis ekspor dan investasi.

AAF  merupakan  forum  pertemuan  para  tokoh  politik  dan  ekonomi  dengan  menghadirkan  kurang lebih  200 pembuat  kebijakan dan  pelaku  usaha di Asia untuk  membahas  perkembangan  ekonomi dan kebijakan perdagangan dan investasi terkini di Asia. Acara  yang  diselenggarakan  Singapore  Institute  of  International  Affairs  (SIIA)  ini  bertujuan  untuk memahami  implikasi  ketegangan  hubungan  AS-China  terhadap  negara-negara  di  kawasan  Asia Tenggara (ASEAN).