info-publik

RRI Untuk Indonesia Lebih Bertoleransi

Oleh: Hanum Oktavia Editor: 10 May 2020 - 11:45 kbrn-pusat

Oleh Sugeng Winarno*

Radio Republik Indonesia (RRI) genap berusia 74 tahun. 11 September ini RRI merayakan Hari Radio. RRI adalah satu-satunya radio yang telah eksis seusia kemerdekaan bangsa ini. Kehadiran RRI tak hanya berperan sangat singnifikan saat perjuangan kemerdekaan RI waktu itu. Namun hingga kini, RRI hadir sebagai media pemersatu bangsa. Seperti di saat bangsa ini sedang diuji rasa kebersamaan dan toleransinnya, maka RRI hadir sebagai sarana menggelorakan semangat persatuan.

Indonesia adalah negara yang majemuk dan sangat heterogen. Menurut data Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, ada sejumlah 17.504 pulau di Indonesia. Sementara menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah bahasa daerah di Indonesia mencapai 652 bahasa. Dari dua aspek ini saja, bisa menjadi unsur pembeda antara pulau yang satu dengan yang lain, termasuk antara bahasa daerah yang satu dengan yang lain.

Sejatinya segala perbedaan itu berkah. Namun bila perbedaan tak dikelola dengan baik, maka perbedaan itu bisa menjadi sumber petaka. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebenarnya konsep yang berusaha menjaga segala perbedaan itu agar mampu menjadi kekuatan yang menyatukan. Orang boleh berbeda suku, agama, ras, bahasa, warna kulit, rambut, dan sejumlah pembeda yang lain, namun perbedaan itu tak boleh menjadi pemicu perpecahan. Segala perbedaan itu seharusnya menjadi perekat untuk dijaga kebersamaannya.

Perekat Perbedaan

RRI adalah satu-satunya radio yang jaringannya sangat luas. RRI bisa didengarkan hampir di seluruh penjuru tanah air. Siaran RRI bisa menjangkau dari Sabang sampai Merauke, Dari Miangas sampai Pulau Rote. Stasiun RRI daerah juga hadir di sejumlah wilayah mulai dari daerah perbatasan hingga di kota-kota besar. RRI stasiun daerah telah menjadi media siaran yang menjawab kebutuhan masyarakat daerah.

RRI juga telah menjadi media yang bisa di terima oleh beragam pembeda etnisitas. RRI telah hadir di tengah-tengah masing-masing suku, ras, warna kulit, dan bermacam perbedaan yang ada di masyarakat. RRI secara rutin menyapa para pendengarnya dalam keragaman bahasa dan adat istiadat. RRI juga telah hadir tak sekedar mengusung fungsi ideal media yakni sebagai sarana penyedia informasi, pendidikan, dan hiburan semata. RRI telah hadir menjadi media rujukan yang mampu menjadi penyatu di tengah perbedaan.

Sesuai Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, RRI adalah Radio Publik. RRI adalah Lembaga Penyiaran Publik (LPP) yang bersifat independen, netral, tidak komersial dan berfungsi melayani masyarakat, memberikan pelayanan siaran informasi, pelestarian budaya, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol sosial dan menjaga citra positif bangsa di dunia internasional.

Kehadirannya tentu demi melayani publik. Untuk itu RRI memang harus selalu mengukuhkan diri agar tetap konsisten memainkan peran sebagai lembaga penyiaran publik ini. Maka ketika negeri ini sedang diuji rasa persatuannya sebagai bangsa, maka RRI harus tampil terdepan sebagai media yang selalu menggelorakan semangat persatuan di tengah beragam perbedaan yang bisa sewaktu-waktu menjadi sulut api perpecahan.

Publik adalah orientasi utama RRI, bukan pasar seperti layaknya lembaga penyiaran komersial. Posisi inilah yang menjadikan RRI bisa memainkan peran yang lebih ideal. Sebagai radio publik, kehadiran RRI di tengah-tengah masyarakat harus selalu bisa dirasakan. RRI harus menjadikan orientasi utamanya adalam masyarakat sebagai publiknya, tak elok kalau menempatkan masyarakat sebagai pasar (market) layaknya lembaga penyiaran swasta. Tema Hari Radio ke 74 tahun ini sangat tepat. RRI hadir “Untuk Indonesia Lebih Bertoleransi” dengan tujuan agar masyarakat Indonesia tetap bersatu dan tidak terpecah belah. RRI harus terus mengukuhkan Indonesia dengan Bhinneka Tunggal Ika. Lewat peran angkasawan dan angkasawati yang tersebar di seluruh penjuru negeri, RRI harus terus mendedikasikan diri
kepada bangsa dan negara Indonesia.

Tetap Independen

Independensi memang menjadi harga mati yang harus dijunjung seluruh angkasawan-angkasawati RRI. Untuk itu RRI harus bisa memainkan peran sebagai media yang netral, yang bisa menjadi penyeimbang beragam informasi dari media swasta yang cenderung memanipulasi produk medianya guna kepentingan diri, kelompok atau partainya. Pembingkaian (framing) yang sering dimainkan media massa swasta terhadap sebuah persoalan harus bisa diseimbangkan oleh RRI.

Independensi tak boleh tergadaikan oleh alasan apapun. Karena kalau sampai masyarakat merasakan RRI kehadirannya memihak pada kelompok, golongan, atau rezim yang berkuasa, maka habislah RRI di mata publiknya. RRI juga harus selalu hadir sebagai penyeimbang informasi yang sering simpang siur karena pertimbangan sejumlah kepentingan oleh pengusung informasi tersebut. RRI harus berdiri di tengah, menyampaikan fakta sebagai sebuah kebenaran yang utuh tanpa rekayasa.

RRI harus hadir sebagai pelurus dan penjernih informasi bagi masyarakat di tengah banjir informasi (information overload) dan maraknya hoax di masyarakat. RRI harus selalu hadir di saat masyarakat kebingungan dalam memilih dan memilah laju informasi yang kemunculan dan distribusinya sangat cepat dan masif. RRI harus bisa menjadi wacana publik yang terbuka (public sphere) yang steril dari segala intervensi, dominasi dan kooptasi kekuasaan serta tekanan pemegang kebijakan. Guna memainkan perannya, RRI telah bersiaran untuk beragam segmen pendengar. Ada RRI Pro 1 yang merupakan pusat pemberdayaan masyarakat, Pro 2 untuk kreativitas anak muda, Pro 3 suara identitas keindonesiaan, dan Pro 4 untuk saluran budaya. Bahkan RRI juga bersiaran lewat aplikasi RRI Play Go bagi pengguna I Phone dan Android, serta bersiaran secara internasional lewat kanal RRI Voice of Indonesia.

RRI memang sudah mengudara dari Sabang sampai Merauke, Miangas sampai Rote. RRI harus terus mampu menjalankan fungsi guna mengakomodasi kelompok masyarakat yang minim pada akses informasi. RRI hendaknya selalu berusaha untuk menjadi penyalur suara masyarakat yang terpinggirkan (to be the voice of the voiceless). RRI harus menjadi fasilitator bagi minority group, kelompok termarginalkan dari sisi ekonomi, bahasa, kultur, dan aksesibilitasnya pada media massa.

Simbiosis antara RRI dan publiknya juga harus selalu dijaga. Jangan ada yang mencoba mematikan peran salah satunya. RRI bisa jaya di udara pasti karena pendengarnya, untuk itu pendengar juga harus berbuat agar RRI tetap mampu berjaya. RRI memang senantiasa berproses agar menuju kondisi yang ideal. Yang jelas, kehadiran RRI hingga saat ini dinilai masih sangat dibutuhkan. Selamat Hari Radio, Sekali Di Udara Tetap Di udara, Merdeka! (*)

*) Penulis Adalah Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang