info-publik

Rona Anak Pesisir, dari Rumah Baca, Literasi Bermula

Oleh: Abdullah Leurima Editor: 10 May 2020 - 11:43 kbrn-pusat

Buku Yang Dirindukan

Geser adalah pusat peradaban masyarakat pesisir sebelum Kabupaten SBT dimekarkan dari Maluku Tengah. Meski kecil, pulau yang terbentuk dari sedimentasi karang ini, memiliki sarana prasarana pendidikan yang komplit, karena menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan sejak zaman Belanda. Denyut pendidikan di pulau kecil padat penduduk ini dari dulu sudah terasa, hingga menjadi kiblat bagi anak-anak pesisir mendapatkan pendidikan yang layak.

Alman Vari Rumata, alumni perguruan tinggi di Makassar mengakui, iklim pendidikan di Pulau Terapung Geser sejak dulu sudah menghangat. Iklim itu dipengaruhi oleh budaya masyarakat lokal yang menaruh perhatian serius terhadap pendidikan anak-anak sejak usia dini. Dia mencontohkan budaya literasi yang dihidupkan dalam keluarganya, di mana peran orang tua sangat menentukan maju mundurnya pendidikan sang anak dan bahkan berpengaruh terhadap pembentukan karakter.    

“Bapak saya itu tegas, beliau membagi  waktu di rumah menjadi empat, yakni waktu belajar, mengaji, bermain dan istirahat. Tidak ada toleransi, yang melanggar dihukum. Waktu masih SD, setiap malam, biasanya bapak atau ibu yang membimbing kami belajar sambil menanamkan nilai budaya dan budi pekerti. Kami sering dibelikan buku-buku baru yang menarik, hingga jadi hoby membaca,” ujar Alman, anak kedua dari empat bersaudara. Tiga saudaranya masih kuliah di Makassar, Jogja dan Ambon.

Namun menurut Alman, iklim pendidikan yang sudah maju di Pulau Geser, sampai sekarang, belum berbanding lurus dengan iklim pendidikan di wilayah pesisir Pulau Seram atau tanah besar, sebutan penduduk lokal. Meski saat, kebanyakan dari kampung-kampung di tanah besar sudah memiliki gedung sekolah dasar, ada juga SMP dan SMA, namun fasilitas pendidikan berupa perpustakaan, laboratorium bahasa dan lain-lain seperti di Geser tidak ada.

Hal itu tergambar dari kisah Sofyan Kastella. Alumni Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon Jurusan Jurnalistik ini, lahir dan besar di Kampung Gunak Kecamatan Kilimury, hingga tahu betul dinamika pendidikan di wilayah yang masih terisolir sampai sekarang. Sofyan yang sekarang menjadi jurnalis media online berkata, hal yang paling dirindukan oleh anak-anak Kilimury adalah buku-buku bacaan yang tak pernah dijumpai di sekolah.  

Sofyan dan anak-anak dari kampung tetangganya, mengenyam pendidikan sekolah dasar pada tahun 2006 di Kampung Gunak. Mereka terpaksa belajar dengan fasilitas yang serba terbatas karena tak punya pilihan. Di bawah temaran lampu pelita, Sofyan dkk tekun mempelajari buku-buku catatan sambil mengerjakan tugas dari guru sebisa mungkin, hingga tamat sekolah. Dari Gunak, Sofyan merantau ke Pulau Geser dan melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.

Menurut Sofyan, minat baca anak-anak pesisir di kawasan Kilimury sejatinya sangat tinggi, karena mereka ingin tahu tentang banyak hal-hal yang tidak didapatkan dari orang tua maupun guru. Namun, rasa ingin tahu mereka terganjal akibat dari minimnya fasilitas belajar dan faktor ekonomi yang tidak memungkinkan orang tua mereka membeli buku-buku bacaan di Pulau Geser atau menitipkan buku pada mereka yang bepergian ke Kota Ambon.

“Karena di sekolah tak ada perpustakaan, jadi kalau ada yang punya buku, kami akan belajar sama-sama ditemani lampu pelita. Semua orang tua di Kilimury ingin anak-anaknya maju dan pintar, supaya hidupnya nanti tidak seperti mereka. Karena itu, mereka sangat senang jika melihat anak-anaknya rajin belajar dan mengaji,” kata Sofyan, seraya mengisahkan suka duka anak-anak Kilimury menantang arus sungai, menghindari ombak dan semak belukar, demi untuk sekolah.

Dari itu lah, semasa masih di kampus, Sofyan dkk mahasiswa asal Kilimury, berinisiatif membangun rumah baca di Gunak sebagai pusat gerakan literasi. Namun impian mereka sampai sekarang belum terwujud, karena mereka masih berupaya mengumpulkan buku-buku dan fasilitas pendukung. Pastinya, mereka sudah bertekad akan membangun gerakan literasi melalui rumah baca di Kilimury untuk menunjang pendidikan anak-anak pesisir.   

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di SBT pada tahun 2017 telah meningkat menjadi 130 ribu sekian, tersebar di 198 desa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1,84 persen usia 19 – 24 tahun tercatat tidak pernah sekolah, 22,76 persen masih sekolah dan 75,40 persen tidak lagi sekolah. Namun untuk usia 7 – 12 tahun, BPS mencatat 99,29 persen masih sekolah, sedangkan yang tidak sekolah hanya 0,71 persen.

Sejalan dengan pertambahan penduduk, pada tahun 2017, jumlah gedung sekolah dasar telah meningkat menjadi 146 unit dengan jumlah murid 19.348 orang dan guru 1.016 orang, sedangkan  Madrasah ibtidaiyah tercatat sebanyak 17 unit dengan jumlah murid 2.302 orang dan guru 85 orang. Ratusan gedung sekolah tersebut menyebar merata di 15 kecamatan, namun kebanyakan dari sekolah-sekolah yang ada masih kekurangan tenaga pengajar dan belum dilengkapi dengan perpustakaan.

Kondisi seperti ini dipandang tidak aman bagi pengembangan ekosistem pendidikan berbasis kompetensi di daerah-daerah pesisir, hingga melahirkan gerakan-gerakan literasi yang dimotori aktivis mahasiswa. Gerakan literasi dilancarkan dari rumah-rumah baca, demi satu impian. Ya, dari rumah baca, literasi bermula, dan dari rumah baca pula, anak-anak pesisir bersorak merajut masa depan.