info-publik

Kerusakan Hutan Kalimantan: Gara-Gara Salah Asumsi Sejak Pra Proklamasi

Oleh: Heri Firmansyah Editor: Heri Firmansyah 10 May 2020 - 11:43 kbrn-pusat

KBRN, Jakarta : Inii bukan “hoax”,  sekedar untuk menghibur generasi penerus paska 17 Agustus 1945.  Tapi, kalau ada yang merasa ikut bersalah dan berdosa, silahkan saja.  Disarankan bertaubat sebelum terlambat. Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan lagi Maha Penyayang.

Tulisan ini berdasar nukilan dari buku “Eine Durchquerung der Insel Borneo” (Melintasi Pulau Borneo/Klaimantan), karya peneliti Jerman, Karl Hellbig, setelah melakukan ekspedisi ilmiah menjelajah Kalimantan tahun 1937.  Ia mempublikasikan kesan perjalanannya yang sarat dengan data ilmiah dalam dua jilid buku.

Bagi khalayak umum, ia menulis buku yang diterbitkan tahun 1940 berjudul “Urwaldwildnis Borneo. 3000 Kilometer Zick-Zack Marsch   durch Asiens grosste Insel (Hutan Rimba Raya Kalimantan.  Berjalan Zig-Zag 3.000 Kilometer Menjelajahi Pulau Terbesar Asia).  Karya Karl Helbig ini pas untuk membahas kerusakan hutan, yang melanda Indonesia dari masa ke masa.

Ia tiba di Pontianak April 1937, lalu menjelajahi Kalimantan dengan berjalan kaki selama delapan bulan sampai Banjarmasin.  Helbig wafat tahun 1991 di Hamburg dan dikenang sebagai perintis riset modern tentang Indonesia.

Menurut wartawan Jerman, Ruediger Sibert, ekspedisi itu merupakan yang paling berani pada kurun waktu sebelum Perang Dunia Kedua yang pernah dilakukan orang Eropa. Sibert menulis kisah itu dalam bukunya yang terbit dalam bahasa Jerman dan Indonesia tahun 2002. Judul edisi Indonesia karya mantan koresponden Radio Jerman, Deutsche Welle, di Jakarta itu adalah “Berjejak di Indonesia, Kisah Hidup Sepuluh Tokoh Jerman”.

Buku-buku Karl Helbig tentang Kalimantan dapat dibaca sebagai buku sejarah. Ia mencatat banyak hal yang dulu memberatkan penduduk pedalaman sudah diatasi, di antaranya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Namun, ia suka mempertanyakan berapa biaya yang harus dibayar untuk kemajuan. Misalnya tentang kelestarian keanekaragaman budaya suku-suku pedalaman.

Ia menyorot konsep pembangunan, mulai dari yang dicetuskan para misionaris asing sampai rencana pembangunan daerah yang diputuskan di Jakarta,  selalu bertolak dari anggapan cara hidup tradisional Suku Dayak tidak sesuai dengan zaman lagi. Asumsi ini dicatatnya mulai tahun 1937.

Sejak itu Karl Helbig sangat prihatin dengan dampak  buruk yang diakibatkan oleh pengaruh asing dan pihak luar, yakni penggundulan hutan secara komersial dan tidak beraturan. Kerusakan hutan tropis di Kalimantan sebagai paru-paru dunia mengakibatkan perubahan iklim dan masalah ketersediaan air bagi jutaan manusia. Ini isu global.

Ia menambahkan, komentar yang berupa kritik sangat tajam pada tahun 1980-an dengan menyebut skandal perusakan alam melalui penggundulan hutan tropis di Kalimantan.

“Laporan untuk kalangan terbatas, khususnya Indonesia bakal lebih cepat membuat malu setiap orang luar yang memiliki rasa tanggung-jawab, ketimbang ‘burung-burung nasar” yang berpenampilan terhormat sebagai jenderal dan gubernur, koordinator, manajer dan bos,” tulisnya.

Menurut dia, satu-satunya ideologi dan filsafat yang mereka anut adalah hasrat mengisi kantong sendiri dengan segala cara, termasuk cara yang konformitas hukumnya patut diragukan dan landasan moralnya patut dicela karena tidak mempedulikan citra baik seluruh bangsa Indonesia.

Semoga para perencana pembangunan ibukota RI di Kalimantan Timur sudah mempertimbangkan dengan cermat berbagai kemungkinan, termasuk catatatan Karl Helbig itu. Harus dijaga agar pembangunan ibukota baru itu demi pemerataan pembangunan dari Jawa ke luar Jawa.

Tiba-tiba saya ingat Pak Harto. Presiden ke-2 RI itu tahun 1978 di Kalimantan Barat, dengan suara agak ditahan menyatakan prihatin atas nasib para transmigran. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak bermaksud memindahkan penderitaan dari Jawa ke luar Jawa. Para transmigran dalam dialog terbuka dengan Presiden tanpa sungkan, “ewuh pekewuh”, menyampaikan penderitaan mereka karena tanah gambut tidak cocok untuk menanam padi. Sebelumnya, gubernur dan menteri menyatakan proyek trasmigrasi itu sukses.

Laporan model begitu dulu populer sebagai laporan ABS (Asal Bapak Senang). Semoga Allah membimbing bangsa Indonesia ke jalan yang benar, jalan orang-orang yang diridhoi, bukan jalan mereka yang dimurkai dan tersesat. Amieen. 

Oleh: Parni Hadi, wartawan profetik