sorotan-kampus

Akademisi: Program Deradikalisasi Harus Sejak Usia Dini

Oleh: Hikmat Raharjo Oetomo Editor: 10 May 2020 - 11:42 kbrn-pusat

KBRN, Denpasar Utara : Terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang memerlukan penanganan serius. Doktrinisasi paham anti Pancasila dipastikan menjadi pemicu munculnya sikap radikal. Belum lagi masifnya penyebaran ideologi radikal berkedok agama, memicu manusia berpikiran dan bernalar dangkal dengan mudah terpapar ajaran sesat tersebut.

Satu contoh masih perlunya semua pihak melawan aksi terorisme adalah penusukan terhadap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Jenderal TNI (Purn) Wiranto di Pandeglang, Banten, Kamis (10/10/2019). Hal itu beralasan, mengingat pelaku Syahril Alamsyah alias Abu Rara (31), dan Fitri Andriana (21) diduga bagian dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). JAD adalah sebuah kelompok militan Indonesia yang memiliki afiliasi dengan ISIS. 

Pengarah sekaligus koordinator Aksi Kebangsaan perguruan tinggi melawan radikalisme, Dr. Ida Bagus Radendra Suasatama menyebut, sikap represif terhadap sejumlah terduga teroris tidak memutus rantai penyebaran paham radikal. Menyikapi kondisi itu, diperlukan upaya sistematis untuk menyukseskan program deradikalisasi yang tengah dijalankan pemerintah. 

"Karena ini menyangkut persoalan keyakinan, menyangkut persoalan cara berpikir, perspektif, paradigmatik sifatnya. Jadi memang harus kita lakukan secara mendasar. Jadi dimulai dari cara berpikir, dimulai dari premis-premis dasarnya bahwa sesungguhnya, apakah memang benar, misalnya ya dalam konteks ini, apakah memang benar agama itu membolehkan atau bahkan memerintahkan agar kita menyakiti, membunuh, dan seterusnya," katanya ketika ditemui RRI dikediamannya dibilangan Denpasar Utara, Sabtu (12/10/2019). 

"Karena banyak juga dari mereka yang sudah melalui proses deradikalisasi tadi, mereka sadar benar bahwa dulu mereka sempat menganut sesuatu pemikiran yang keliru. Ketika mereka sadar secara sebenar-benarnya, itu jauh lebih bagus daripada kita menggunakan pendekatan represif atau dengan kekuatan hukum," lanjutnya. 

Radendra Suastama yang juga akademisi di STIMI Handayani Denpasar ini berpendapat perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program deradikalisasi. Ia memandang harus ada metode pendekatan baru, termasuk menjalankan program deradikalisasi mulai dari usia dini. 

"Karena kita lihat beberapa video itu, dikalangan mereka, anak-anak pun bahkan sudah diajarkan untuk memegang senjata, dan kemudian mereka diajarkan menembak boneka-boneka, sambil mereka teriakkan itu kafir, tembak, itu kafir, tembak. Atau bahkan menyembelih boneka. Itu ada video-video yang sangat mengerikan menurut saya, ketika anak kecil yang mengonsumsi itu," ungkap Radendra yang juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Pendidikan Handayani Denpasar tersebut. 

Strategi deradikalisasi sejak usia dini, menurut Radendra dapat dilakukan dengan mengambil anak-anak yang diduga telah terpapar paham sesat tersebut. Karena jika kondisi itu telat ditanggulangi, ia khawatir akan sulit untuk menghilangkan paham yang telah tertatanam sejak lama. 

"Jadi bagaimana caranya dari usia dini, atau anak-anak itu bagaimana cara kita kembali, kita ambil mereka, dalam arti ambil, jangan sampai mereka tetap dilanjutkan dalam pola pendidikan itu, sehingga kita bisa selamatkan dalam petik, agar mereka kembali menganut sebuah pikiran yang humanis yang benar, agama yang lurus, yang tepat. Dan bukan agama yang seperti itu, yang memang keliru dan menurut saya sesat ya," ujarnya. 

Berbicara penusukan terhadap Menko Polhukam, Radendra menilai kejadian tersebut menjadi peringatan dini bagi pihak keamanan. Hal yang perlu digarisbawahi adalah peningkatan pola pengamanan terhadap pejabat negara. 

"Cara meningkatkannya bagaimana, mungkin secara teknis pasukan pengamanan lebih tahu. Misalnya Pak Presiden kita sendiri pun kan beliau sangat dekat dengan rakyat, kadang-kadang tanpa jarak. Sedangkan tidak semua orang berpikir sama. Tidak semua orang yang mendekat itu adalah untuk mengagumi atau untuk bersalaman dan sebagainya. Tetapi ada juga mungkin yang kemungkinan seperti ketika kejadian Pak Wiranto. Mudah-mudahan itu menjadi suatu hikmah," pungkas Radendra Suastama.