info-publik

Meski 'Kecut', Hidup Harus Tetap Berlanjut

Oleh: Yahya Widodo Editor: Super Admin Portal RRI.co.id 10 May 2020 - 11:42 kbrn-pusat

KBRN, Yogyakarta : ......”langit adalah atapku, matahari adalah selimutku, trotoar adalah tempat tidurku, debu-debu adalah nafasku, jalanan ini adalah hidupku, dan anak-anak ini adalah masa depanku”......

Barangkali itulah sepenggal syair deskriptif tentang perjuangan Sri Lestari, sosok perempuan penjual mainan dari plastik yang di dalamnya berisi gas/udara, di kawasan Jalan Randugowang, Dusun Jatirejo, Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Siang itu, Selasa (14/10/20190) jalanan menuju Dusun Jatirejo panas terik oleh sengatan sang metari yang tak pernah ramah di setiap musim kemarau.

Hari itu pula sosok anak laki-laki mungil berlari-lari kecil di atas trotoar tanpa alas kaki. Di sampingnya ada aneka mainan boneka plastik dengan jumlah tak seberapa, ditunggui seseorang yang tertutup selendang batik lusuh dan kusam.

Pemandangan ini membawa sepeda motorku untuk belok, berbalik arah dan mendekat anak laki-laki berumur sekitar 4 tahun itu. Ternyata anak itu bersama sang ibu yang sedang duduk tertidur sambil menggendong seorang bayi perempuan.

Ibu itu terbangun dan membuka selendang penutupnya dengan senyum ramah dihiasi wajah kelam bergores luka lama.

“Ibu, kenapa berjualan di tempat sepanas ini dengan membawa anak-anak? Ngga ada atapnya lagi. Kenapa?,” tanyaku sambil merendah.

Setelah menyeka keringat yang membasahi kepala si bayi dalam gendongannya, Sri Lestari warga asli Kulonprogo itu pun menyahut bahwa ini sudah biasa.

“Dia (anak laki tadi) udah biasa pak sampai item kaya gini,” sahutnya sambil menunjuk anak laki-lakinya yang masih asyik berlompat ria di bawah sengatan matahari yang menyeka jalanan sepi dari lalu-lalang kendaraan.

ukup lama juga kami mengobrol di pinggir jalanan dengan terpaan debu-debu dan dedaunan kecil kering berterbangan, hingga tak terasa keringat pun terasa mengalir perlahan di antara punggung hingga bahu.

Sri Lestari hanyalah sebuah potret kecil dari kehidupan bangsa ini yang masih terus berusaha memerangi kemiskinan. Masih banyak ‘Lestari-Lestari’ lain yang membutuhkan uluran tangan dari orang-orang yang nasibnya lebih baik darinya.

Meski miskin, akan tetapi Lestari mengaku kepada RRI bahwa ia tidak menjual kemiskinannya itu dengan meminta-minta belas kasihan dari orang lain. Setidaknya ia juga mempunyai suami yang bertanggung jawab yang menjual minuman pabrikan secara berekeliling.

Jika pagi hari ia dan anak-anak diantar suami untuk menggelar dagangan balon dan boneka plastiknya, sedangkan jika sore hari ia dijemput lagi, untuk pulang di kawasan jalan Kabupaten wilayah Sleman.

Saat ditanya berapa rupiah yang ia dan suami bawa pulang, Sri Lestari dengan nada lirih menjawab, tidak tentu. Ia sendiri pun juga mengaku kadang dalam sehari tidak mendapat uang. Sedangkan sang suami sendiri juga hanya bisa membawa uang sekitar 30 ribu rupiah.

Ketika didesak, kenapa tidak berjualan yang lain yang lebih mapan, ia hanya ternsenyum dan menjawab tidak punya modal.

“Ya.. gimana, ngga ada modal. Saya pernah kerja jadi pembantu tapi nggak betah. Ya, gini ajalah, yang penting bisa buat hidup,” jelasnya.

Bagi Sri Lestari, hidup memang harus tetap berlanjut, meski terkadang kecut. (yyw).