politik

Proyeksi Tantangan Demokrasi Jokowi Maruf dari UU Diskriminasi hingga Isu GBHN

Oleh: Rizki Supermana Editor: Syarif Hasan Salampessy 10 May 2020 - 11:42 kbrn-pusat

KBRN, Jakarta : Pemerintahan baru Jokowi-Maruf mempunyai berbagai permasalah demokrasi yang perlu mendapat perhatian untuk kepentingan masyarakat yang berdemokrasi.

Dalam dikusi proyeksi sektor demokrasi Pemerintahan Jokowi-Maruf periode 2019-2024, Divisi Advokasi Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Gulfino Guevarato menyatakan DPR tidak punya komitmen dalam menyelesaikan UU Perpajakan yang dinilai dapat memberi keadilan pada pengenaan pajak lebih adil, dimana DPR malah mengesahkan UU yang tidak diperlukan masyarakat.

"DPR punya power mengejar UU KPK hanya dengan waktu 13 hari, UU Tax Amnesty tidak lebih dari 3 bulan, tantangan 2019-2024 untuk DPR kenapa UU KUP Ketatapan Umum Perpajakan yang masuk prolegnas dari 2015 sampai hari ini belum diselesaikan," ungkap Gulfino saat diskusi di Upnormal Coffee, Gondangdia, Jakarta, pada Selasa (15/10/2019).

Peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, Kode Inisiatif, Ihsan menyebut isu perubahan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) perlu menjadi perhatian karena mencuat mandataris MPR untuk Pilpres seperti orde baru, bukan dipilih rakyat. Menurutnya hal ini akan menodai demokrasi yang telah semakin baik selama reformasi dilakukan.

"Masuknya isu GBHN di dalam perubahan konstitusi kita ini akan menjadi buruk dan akan berimplikasi khususnya pada Pemilihan Presiden dan Wapres karena di Orde Baru merupakan mandataris MPR," kata Ihsan.

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Lintang Setianti menyoroti pekerjaan rumah bidang demokrasi yang harus dibenahi terkait pasal karet yang dapat menjerat masyarakat, khususnya UU ITE terkait percemaran nama baik, UU KUHP terkait makar dan pasal lain yang mendiskriminasi rakyat.

"Pasal over use pasal karet, kenyataannya itu akan selalu ada, pasal bermakna ganda kalau pasal itu tidak direvisi, UU ITE pasal pencemaran nama baik, di KUHP pasal makar, pasal penodaan agama," papar Lintang.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati juga mengungkapkan isu pelemahan demokrasi lebih sistematis karena telah menjadi UU, seperti Revisi UU KUHP yang sebagian besar pasal menekan rakyat, dan mengatur terkait moral bukan pada subjek hukum yang harusnya tajam ke bawah ke atas, bukan sebaliknya hanya tajam ke bawah.

"Di DPR bisa sepakat dengan privatisasi air yang sudah dicabut oleh MK, mereka sepakat juga untuk mengusung Revisi KUHP, baik partai nasionalis maupun tidak, tiba tiba ada pasal penodaan agama, ada pasal zinah, ada pasal hidup bersama," jelas Asfinawati.

Pemerintah Jokowi-Maruf diharapkan dapat memperbaiki sistem demokrasi yang telah berjalan baik selama reformasi, untuk mendorong masyarakat Indonesia yang berdemokrasi serta mencapai keadilan dan kesejahteraan.