tanggap-bencana

Pulau Dewata Defisit Air

Oleh: Hikmat Raharjo Oetomo Editor: Syarif Hasan Salampessy 10 May 2020 - 11:42 kbrn-pusat

KBRN, Kuta : Ketersediaan air masih menjadi permasalahan krusial bagi Bali. Jika dikomparasi, keperluan masyarakat tidak sebanding dengan debit air yang tersedia.

Kepala Seksi Operasi dan Pemeliharaan Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida, I Ketut Alit Sudiastika menjabarkan, debit air yang tersedia sebesar 101,23 meter kubik per detik. Sedangkan sesuai data per Agustus 2019, keperluan air masyarakat mencapai 119,96 meter kubik per detik.

"Jadi terjadi defisit air sebesar 18,73 meter kubik per detik. Sedangkan potensi yang ada, potensi air yang ada yang mengalir langsung ke laut, itu boleh dikatakan, ini hasil data kami yang terakhir ini 216,87 meter kubik per detik," ungkapnya kepada wartawan disela-sela Press Conference Symposium Suksma Bali 2019 di Kuta, Selasa (15/10/2019). 

"Meski terjadi defisit, akan tetapi masyarakat tidak mengeluh. Hal itu kami perkirakan karena perilaku masyarakat yang terbilang irit dalam pemakaian air. Semisal asumsi pemakaian air per hari 60 liter per detik, tetapi barangkali mereka hanya menggunakan rata-rata 50 liter per detik," lanjutnya. 

Sementara Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali Nusra, Rizal Uzzaman mengakui, Pulau Seribu Pura mengalami permasalahan untuk ketersediaan air tanah, dan air permukaan. Hasil pemetaan data ekosistem Pulau Bali menunjukkan, sebesar 66% lebih daerah dengan potensi air skala sedang, dan 29,72% kategori rendah. 

Dari ketersediaan, air permukaan di Bali hanya 3,5 miliar meter kubik. Sedangkan kebutuhan secara kumulatif sebesar 3,8 miliar meter kubik. 

"Kalau nanti umpamanya pertambahan penduduk juga bertambah, wisatawan juga bertambah, berarti bukan 3,8 miliar meter kubik lagi. Bisa jadi 4 miliar meter kubik. Sementara potensi air yang ada semakin berkurang," ujarnya. 

Rizal menyebut, diperlukan langkah konkrit untuk mengantisipasi dampak negatif dari defisit air. Salah satunya membuat cadangan air yang masuk kedalam tanah. Ia tak memungkiri, alihfungsi lahan menjadi penyebab utama menurunnya ketersediaan air tanah, dan permukaan di Bali. 

"Karena kita terus terang, untuk daerah Badung perubahan fungsi lahannya sudah luar biasa sekali. Data kami lebih dari 50 persen daerah-daerah yang potensi pangan itu berkurang, karena ada pembangunan," bebernya. 

Menyikapi kondisi itu, Suksma Bali akan menggelar simposium bertajuk "Menyelamatkan dan Menjaga Keberlangsungan Air Bali". Ketua Suksma Bali 2019, Darma Suyasa pada kesempatan yang sama menjelaskan, symposium itu menjadi respon pegiat industri pariwisata terhadap permasalahan di Bali. Masalah terbesar yang saat ini menghantui masyarakat adalah keberlanjutan dari ketersediaan air. 

Oleh karenanya, pada symposium yang rencananya digelar di Gedung Wiswa Sabha Utama Kantor Gubernur Bali, Kamis (17/10/2019), pihaknya juga akan merumuskan sebuah rekomendasi. Salah satu poin soal upaya nyata pelaku pariwisata dalam menyelamatkan air Bali. 

"Dalam deklarasi nanti, yang paling cepat bisa dilakukan adalah satu poin utama dari yang kami hasilkan tadi yaitu membuat biopori atau sumur-sumur resapan dimasing-masing properti kita, itu satu," katanya. 

"Kedua yang bisa kita lakukan adalah, bagaimana kita dari pihak properti hotel, itu berkomitmen untuk melakukan penanaman kembali, reboisasi, dihitung dari berapa meter kubik air yang kita habiskan sebulan, ekuivalen dengan berapa pohon yang harus kita tanam," pungkas Darma Suyasa.