info-publik

Merangkul Harmoni Warna Warni Papua

Oleh: Nugroho Editor: Nugroho 10 May 2020 - 11:42 kbrn-pusat
KBRN, Jayapura : Waktu menunjukkan sekitar pukul 14.30 WIB saat kaki tim RRI menjejak lantai garbarata Bandara Sentani atau sekitar pukul 16.30 WIT. Namun, tampak suasananya terasa lebih sore dari yang terlihat. 

Semburat cahaya matahari senja berwarna kuning jingga terang menyirami dan menyibak sela-sela awan yang memayungi runway Bandara Sentani, persis ketika RRI beranjak menuju pintu keluar. 

Langkah-langkah kami tidak tersendat oleh aura kegelisahan atau bayang-bayang ketakutan akan situasi chaos yang memang sama sekali tidak kami rasakan, bahkan ketika kami masih duduk di kursi dalam pesawat Airbus A320.

Perjalanan sepanjang kurang lebih tujuh jam lamanya dari Jakarta ke Papua masih belum usai.

”Satu jam lagi,” kata Darius, penjemput kami, menjelaskan penjelajahan berikutnya yang akan dijalani.

Usai bersedekap memanjatkan doa dalam sholat yang sempat tertunda perjalanan udara, tim bergerak menuju Kota Jayapura.

Darius menjadi pemandu kami menuju tempat penginapan di Kota Jayapura yang berada kurang lebih 30 kilometer jauhnya dari Bandara Sentani.

Tak lama keluar dari bandara, tatapan mata kami bertumbuk pada kemegahan bukit yang menjulang di sebelah kiri, sementara di sebelah kanan tampak bentangan air laut yang luas hampir di setengah perjalanan kami melaju ke Jayapura.

Suara adzan magrib sempat tertangkap pendengaran kami sayup-sayup di kejauhan. Suasana di wilayah ini seperti berubah temaram dan menjadi gelap lebih cepat dari yang biasa kita alami. 

Kendaraan roda empat dan roda dua juga turut melaju bersama kami, ke dan dari arah Jayapura. Angkot, truk, mobil keluarga, dan motor bergerak normal. Tidak tergesa-gesa atau terlalu lambat. Tak ada rasa ketakutan karena kerusuhan massa beberapa waktu lalu.

Darius sempat menunjukkan Stadion Papua Bangkit di tengah temaram senja Selasa sore (15/10/2019) yang tinggal menunggu penyelesaian di sisi kiri laju kendaraan kami. 

Tidak hanya itu. Lampu-lampu dari gerobak-gerobak penjual makanan kaki lima juga tampak saat kami menelusuri jejak-jejak jalan raya di kota-kota sepanjang Sentani-Jayapura.
 
”Orang Tegal banyak yang jualan,” jelas Darius. 

Ia menambahkan banyak warga pendatang yang tinggal dan hidup berdampingan bersama penduduk asli. Warga pendatang umumnya berasal dari para transmigran yang sudah menetap lama di Papua.

Kami menyaksikan gerobak-gerobak kaki lima yang menjual makanan seperti martabak, gorengan, dan makanan bertebaran. 

Tidak ketinggalan rumah-rumah makan padang dan makanan laut (seafood) menyisip di antara sejumlah rumah dan ruko. Sebagian toko-toko kelontong, pakaian, bahan makanan, mini market, dan bahan bangunan masih menggeliatkan roda ekonomi dengan transaksi-transaksinya bersama para konsumen. Yang lainnya mulai menutup gerai yang tampaknya merupakan waktu tutup operasionalnya.

Darius juga menunjukkan sejumlah titik yang menjadi sasaran amuk massa pada saat kerusuhan 23 September lalu: instansi pemerintah, rumah, ruko, ATM.

Tidak hanya Darius, Samsul, keturunan Buton yang lahir dan besar di Papua selama 32 tahun, sempat mengalami situasi kerusuhan. Ia mengatakan situasi saat rusuh memang sangat mencekam.

”Seperti kota mati,” kata Samsul saat menceritakan pilu akhir September lalu.

”Tidak ada yang jual-jual,” tambahnya lagi.

Perputaran roda ekonomi menjadi terhenti. Rasa curiga dan khawatir muncul bersamaan.

”Teman baru merantau langsung pulang,” ungkap Samsul, menjelaskan situasi yang terjadi di kalangan para pendatang.

Meski demikian, Samsul mengatakan bahwa kondisi saat ini lambat laun semakin berubah. Sebagian penduduk yang tempat tinggalnya atau usahanya mengalami kerusakan sudah ada yang membangunnya kembali. 

Situasi kembali berangsur pulih dengan masyarakat Papua yang saling berinteraksi dan bertransaksi dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Hilir mudik perangkat transportasi di jalan raya dan laut menunjukkan rasa khawatir dalam diri masyarakat lambat laun semakin menipis.

”Kitorang saling butuh,” tegas Samsul. 

Menurutnya, baik penduduk asli dan pendatang sama-sama saling membutuhkan untuk menciptakan kemajuan bersama di tanah Papua.

Samsul menyesalkan bahwa kerusuhan tersebut harus terjadi, karena tidak hanya merugikan para pendatang, tapi juga penduduk asli. Selain itu, kerusuhan tersebut juga telah membuat jarak sosial pada sesama masyarakat di Papua yang telah tinggal dan hidup bersama sedari kecil, bahkan pada mereka yang sudah menjadi sahabat.

Malam sudah menyelimuti Papua saat kami melintasi Teluk Youtefa Jayapura. Gemerlap cahaya lampu dari pemukiman di seberang sepanjang pesisir teluk hingga ke atas bukit melaburi air laut yang menjadi salah satu tempat favorit para pemancing. 

Pendaran refleksi cahaya dari air laut membentuk harmonisasi permainan warna dan cahaya yang indah. Meski sedikit menyiratkan kekhawatiran, Samsul menyatakan optimis kejadian seperti ini tidak akan terjadi lagi di Papua. 

Optimis karena masyarakat Papua saling membutuhkan. Optimis laksana cahaya lampu-lampu yang membentuk harmonisasi warna. (Foto: Arif)