teknologi

Begini Kesiapan Indonesia Hadapi Era Masyakarat 5.0 Menurut Para Pakar

Oleh: Retno Mandasari Editor: Nugroho 10 May 2020 - 11:42 kbrn-pusat
KBRN, Nusa Dua : Anda mungkin masih ingat dengan kehadiran Sofia "The Robot" untuk pertama kalinya di Indonesia pada September lalu. Sofia "The Robot" menjadi salah satu contoh lahirnya "kecerdasan buatan" ditengah-tengah kehidupan masyarakat. "Kecerdasan Buatan" tentunya merupakan bagian penting dalam era Society 5.0 (Masyarakat 5.0). Namun, seperti apakah kesiapan Indonesia dalam menghadapi era Masyarakat 5.0 tersebut ?. 

Pakar komunikasi dari Universitas Teknologi Ilmenau, Jerman, Profesor Martin Loffelholz, mengatakan, Indonesia seperti banyak negara lain di dunia perlu segera menyiapkan para ahli teknologi yang lahir dari para mahasiswa muda.
 
"Jadi, hal pertama yang perlu dilakukan adalah melatih lebih banyak para pemuda penerima beasiswa untuk memiliki kesadaran mengenai metodelogi, teori termasuk riset dalam sains komunikasi komputerisasi. Kemudian, hal itu akan membantu para mahasiswa untuk menjadi pakar dalam bidang ini. Jadi, proses ini harus dimulai sekarang dan kita perlu melakukan lebih dalam bidang ini," ungkap Martin dalam sesi panel hari kedua pelaksanaan Konferensi Regional Asosiasi Komunikasi Internasional (ICA) di Nusa Dua, Bali, Kamis (17/10/2019), Nusa Dua, Bali.

Menurut Martin, meski sibuk menghadapi kemunculan era Masyarakat 5.0, namun dalam ilmu sains sosial komunikasi, dunia tidak memiliki jumlah cukup mengenai tenaga pengajar seperti dosen dalam bidang tersebut.

"Di banyak negara kesadaran terkait ilmu perkomputeran ataupun kebutuhan akan literasi algoritma adalah meningkat di banyak negara termasuk di Indonesia. Bagaimanapun, dalam ilmu sains sosial termasuk sains komunikasi kita tidak memiliki jumlah mencukupi mengenai jumlah para dosen dalam bidang ini," terangnya. 

Profesor dari Sekolah Komunikasi Annenberg dan Sekolah Bisnis Marshall, California, Amerika Serikat, Peter Monge, mengatakan, pihaknya memberikan pujian kepada wirausaha Indonesia atas keberhasilan mereka yang tidak hanya mencari keuntungan dari usaha yang dilakukan. Namun, menurut Peter justru dalam waktu yang sama para pelaku enterpreneur Indonesia membuat transisi terhadap penggunaan teknologi.

"Mereka (entreprenuer)  mencoba mendapatkan keuntungan bagi perusahaan melalui sumber daya yang mereka miliki, untuk dapat menolong masyarakat Indonesia memperbaiki kehidupan mereka, memperbaiki cara mereka sebagai bagian dari sebuah komunitas dan membuat transisi dari sebuah kelompok yang sebelumnya tidak bergantung pada teknologi menuju Masyarakat 5.0," jelas Peter.  

Ketua bidang kerjasama Asosiasi Pendidikan Tinggi Komunikasi (ASPIKOM), Dorien Kartikawangi, mengatakan, Konferensi Regional Asosiasi Komunikasi Internasional (ICA) di Nusa Dua, Bali tersebut, memberikan kesempatan kepada para pemuda khususnya mereka yang bergerak dibidang komunikasi untuk bertemu dan berdiskusi langsung bersama para ahli. 

"Saya berharap setiap peserta belajar mengenai hal baru dan bahkan para peserta memiliki kesempatan untuk belajar langsung dari para ahli. Karena, mungkin sebagian besar dari kita menggunakan maupun membaca buku karya profesor Peter, Prof Martin dan Prof. Janet Fulk," ungkap Dorien.

Sebagian pakar komunikasi menilai era Masyarakat 5.0 sebagai "wajah" dari evolusi kelompok manusia dan hal itu berubah kedalam cara sistematis. Dimana masyarakat Indonesia seperti di belahan dunia lainnya, perlu memahami mengapa kita di sini yaitu sebagai bagian dalam upaya pembangunan tinggi dari sebuah teknologi yangmana berdampak pada cara hidup manusia. Yaitu, tentang bagaimana mereka menjalankan hidup disetiap harinya, aktifitas, pengalaman yang akan mereka miliki sebagai bagian dari era Masyarakat 5.0. 

Pendapat lainnya menyatakan kemunculan Masyarakat 5.0 juga memiliki sisi negatif yang membayangi sangat kuat. Seperti, keberadaan Bioteknologi yang melanggar etika, "Kecerdasan Buatan" menyebabkan kehilangan pekerjaan, sosial media menyebabkan "Cyber Bullying dan berita-berita menghasut, matinya sebuah organisasi disebabkan kegagalan dalam beradaptasi hingga meluasnya kejahatan siber.