info-publik

Memaknai Upaya Pelestarian Budaya

Oleh: Hani Fadilah Editor: 10 May 2020 - 11:42 kbrn-pusat

KBRN, Magetan: Warisan tradisi dan budaya nusantara beraneka dan tersebar dari ujung barat hingga timur wilayah Indonesia. Nenek moyang dan pendahulu meninggalkan beribu kekayaan dimana generasi penerus hanya diminta untuk melestarikannya.

Petirtaan Dewi Sri misalnya, adalah salah satu bukti peninggalan nenek moyang yang berupa kolam pemandian seluas 400 meter persegi dengan tinggi 6 meter. Terletak di Desa Simbatan, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Magetan, Jawa Timur atau sekitar 20 km di timur pusat kabupaten Magetan. Kolam pemandian ini dipercaya sebagai tempat mandi tokoh wanita zaman kerajaan Mataram Kuno yaitu Dewi Sri. Dalam mitologi masyarakat Hindu-Jawa, Dewi Sri dianggap sebagai tokoh perempuan yang memberikan sumber kehidupan dan kemakmuran.

Upaya pelestarian situs ini senantiasa dilakukan setiap tahun tepatnya pada hari Jumat pahing bulan sapar dalam kalender jawa dengan menampilkan berbagai kesenian daerah seperti tari Dewi Sri Simbatan, seni reog dan jaranan. Tak ketinggalan, kesenian modern juga tetap dipertunjukkan antara lain fashion show menampilkan busana batik karya warga desa Simbatan.

Namun sangat disayangkan, masih banyak pandangan miring terkait upaya pelestarian budaya. Pelestarian budaya sering dimaknai sebagai aktivitas klenik atau penuh ilmu magis. Padahal jika dikaji lebih luas, peninggalan tradisi nenek moyang memiliki dasar pemikiran yang mulia serta tetap relevan diterapkan dalam kehidupan masyarakat modern. Disisi lain, dalam berbagai kajian, peninggalan sejarah yang dikelola menjadi obyek wisata dapat memberikan multiplayer effect dengan tren positif.

Pelestarian budaya, menurut Bupati Magetan Dr. Drs. Suprawoto, S.H., M.Si., harus dimaknai dengan lebih bijak. Adanya pagelaran budaya mendatangkan massa yang setidaknya akan membaca sejarah akan warisan budaya yang ditinggalkan nenek moyang. Alangkah meruginya jika seorang manusia ketika hidup didunia tidak meninggalkan warisan yang baik.

“Mengingatkan kepada kita semua, ketika kita hidup hendaknya memberikan warisan yang baik. Nenek moyang kita sudah mengajarkan pada kita legacy. Jaman Wangsa Syailendra dulu memberi warisan candi Borobudur, jaman Rakai Pikatan memberi warisan candi Prambanan, di Simbatan ini ada petirtaan Dewi Sri”, kata Suprawoto yang juga merupakan seorang penulis.

Dari sisi pelestarian lingkungan, petirtaan biasanya dikelilingi pepohonan besar yang dikeramatkan harus dimaknai sebagai usaha nenek moyang mempertahankan sumber air tetap lestari.

“Sejak dulu nenek moyang kita mengajarkan begini, sumber air pasti ada pohon besar dan dikeramatkan. Artinya pohon jangan ditebang sembarangan, ojo sak wiyah-wiyah, amargo banyu sumber kehidupan. Supaya (sumber) airnya terjaga”, ungkap Kang Woto.

Ia menambahkan, “Festival Dewi Sri itu harus tetap dilaksanakan karena ini adalah legacy yang luar biasa, ini adalah berkah bagi masyarakat Simbatan. Kalau dulu ini adalah petirtaan (berkahnya berbentuk air yang melimpah), sekarang ini berkahnya diterima masyarakat Simbatan dalam bentuk yang lain, dalam bentuk ekonomi yang tumbuh dan lain seterusnya.”

Sejalan dengan pemikiran Bupati Suprawoto, efek dari sisi ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat desa Simbatan. Ramainya pengunjung yang datang menyaksikan pagelaran budaya memberikan pundi-pundi rupiah. Karang taruna mendapat pemasukan dari hasil mengelola parkir, penjual jajanan diserbu antrean pembeli serta tak ketingaalan penyedia permainan anak-anak seolah “panen” rejeki. Belum lagi para paraga atau penampil dari sanggar-sanggar seni pasti mendapat fee yang sepadan. Hal ini tersirat dari pernyataan kepala Desa Simbatan, Sugianto.

Semua warga Simbatan ikut ambil bagian mulai dari paraga semuanya. Pedagang juga diprioritaskan warga simbatan. Semoga ini menjadi destinasi wisata yang luar biasa karena hanya satu-satunya wisata budaya dan sejarah di kabupaten Magetan” ungkap Sugianto.

Siapa sangka upaya melestarikan budaya ternyata mampu menjadi sarana pemberdayaan masyarakat berkebutuhan khusus yang notabene haknya sama dengan masyarakat pada umumnya. Di desa Simbatan, terdapat batik yang saat ini menyadi ikon baru kabupaten Magetan, batik ciprat langitan. Batik ciprat adalah karya kelompok pengrajin penyandang disabilitas.

Kita dari kelompok disabilitas membikin seperti ini biar tidak dipandang sebelah mata sama yang sebaya dengan kita. Nantinya kan kita bisa mengangkat nama dan derajat anak-anak disabilitas ini”, ujar ketua kelompok disabilitas desa Simbatan, Sunardi.

Meski begitu pelestarian budaya Petirtaan Dewi Sri khususnya dan obyek wisata di Magetan pada umumnya dirasa belum tergarap optimal dari sisi pemasaran. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kabupaten Magetan, Venly Tomi Nicolas mengungkapkan kendala pemasaran ini berasal dari kepercayaan akan patokan penanggalan (pemilihan hari baik). Ia juga menekankan pentingnya link of stay wisatawan dengan menyuguhkan tambahan atraksi dalam setiap festival budaya.

“Saya kadang mikir, mohon maaf ya kadang kalau g rabu kliwon g bisa, ini yang bikin saya susah mengatur jadwal. Contohnya ini kalau ga setengah delapan isuk ga bisa padahal kalau ini malam diberi lighting waduh luar biasa, saya kira kita pengen tidur disini kalau malam”, ujar Venli yang baru saja dilantik menjadi Kepala Dinas per 1 Oktober 2019.

Ia menambahkan, “Harapan kami kedepan ada home stay, ini yang akan menjadikan nanti orang tinggal. Bagaimana link of stay nya wisatawan itu tambah. Orang kesini mungkin langsung pulang karena mereka tidak tahu agendanya apa.”

Meski ritual-ritual berbau tradisi masih dilakukan dalam prosesi pelestarian budaya, namun hal itu harusnya diterima dengan pemikiran terbuka. Bahwa ritual-ritual tersebut mengandung filosofi yang tidak bisa diartikan secara serta-merta dan sederhana. Bukankah sejarah menyebutkan bangsa di Nusantara adalah bangsa yang kaya dan jaya? Maka tidak berlebihan jika jejak sejarah nusantara selalu diwartakan, dipahami dan dilestarikan.