info-publik

ANALISIS : Menyelamatkan Papua dan Tinta Sejarah Operasi TNI

Oleh: Editor: Afrizal Aziz 10 May 2020 - 11:41 kbrn-pusat

KBRN, Jakarta : Teror mulai mendera rakyat Papua paska mulai menyeruak kembali isu-isu tak bermakna yang dihembuskan oknum-oknum tak bertanggung jawab. Semua isu itu jadi tanpa makna karena sebenarnya pembangunan Papua gencar sedang dilakukan justru di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) saat ini.

Sebut saja fasilitas Trans Papua guna menghubungkan satu daerah ke daerah lainnya, jembatan, hingga yang paling santer adalah Bahan Bakar Minyak (BBM) satu harga. Selama puluhan tahun membeli BBM dengan harga Rp50-100 ribu, tapi saat ini, warga Papua sudah bisa menikmati harga yang sama dengan Pulau Jawa.

Tak cukup sampai disitu, setelah berhasil mengambil 51 persen saham perusahaan raksasa Amerika Serikat (AS) PT Freeport McMoran, rakyat Papua bisa menikmati 10 persen dalam bentuk dana pembangunan untuk pemerintah daerah. 

Teror yang dilakukan KKB Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengincar rakyat sipil.  Mereka turun dari tempat persembunyian di hutan lebat kawasan ghunung dan perbukitan, kemudian menyerang siapapun secara random untuk membuktikan bahwa mereka ada dan bebas melakukan apapun. Bahkan belakangan ini, kelompok itu diduga kuat mulai merancang bentuk perlawanan lain yakni lewat unjuk rasa, kemudian langsung anarki membakar kota sambil membunuhi warga.

Terbaru, KKB membunuh tiga orang tukang ojek di Intan Jaya, Papua. Mereka menyayat tubuh korbannya kemudian mengeksekusi dengan tembakan di kepala satu persatu pada Jumat, 25 Oktober 2019 lalu.

Ketiga pengojek nahas itu selama ini diketahui bekerja melayani transportasi masyarakat wilayah Distrik Sugapa.

Kepala Penerangan Kodam Cendrawasih Kolonel Cpl Eko Daryanto mengatakan, penemuan ketiga jenazah pertama kali dilaporkan oleh salah seorang caleg terpilih, Titus Kobogau. Titus sendiri sempat dihadang dan ditodong senjata oleh KKB saat akan menjemput seorang gembala Gereja Kingmi di Kampung Pugisiga, Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, sekitar pukul 11.00 WIT.

"Titus melihat ketiga korban telah meninggal dunia di tempat. Diduga ketiga korban baru saja dieksekusi setengah jam sebelumnya. Oleh kelompok tersebut, Titus diperbolehkan melanjutkan perjalanan dan menyampaikan kabar kepada Bupati Intan Jaya, Natalis Tabuni dan Deki Belau (tokoh pemuda)," sebut Eko melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Sabtu (26/10/2019).

Jika dikalkulasikan, dari tewasnya 31 orang pekerja jembatan pada Desember 2018, kemudian 33 orang meninggal dunia dalam kerusuhan terencana di Wamena, September 2019, hingga terakhir 3 (tiga) tukang ojek nahas meregang nyawa disayat lalu dieksekusi masing-masing di bagian kepala, total sudah 67 warga sipil tewas percuma di tangan KKB OPM dalam kurun satu tahun terakhir. 

Pemerintah harus menjawab semua peristiwa itu dengan sebuah operasi penumpasan. Negosiasi bukan lagi menjadi pilihan, mengingat korban yang terus berjatuhan.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) tiga matra punya pasukan khusus terlatih yang sudah teruji dalam operasi penyelamatan, penyerbuan, baik di dalam maupun luar negeri.

Dari sekian banyak tugas yang diemban TNI, tercatat 4 (empat) operasi khusus skala besar yang sukses dilakukan baik di dalam maupun luar negeri. Berikut RRI paparkan sederet kisah tersebut:

1. Operasi Woyla

Sabtu, 28 Maret 1981, sekitar pukul 10.10 WIB, Pesawat DC-9 Woyla milik maskapai Garuda Indonesia yang dipiloti Kapten Pilot Herman Rante baru saja lepas landas dari Pelabuhan udara (Pelud) Sipil Talang Betutu, Palembang, Sumatera Selatan.

Setelah beberapa lama mengudara, dua penumpang kemudian berusaha membajak pesawat. Satu penumpang menuju kokpit, satu lagi tetap di kabin, menyandera 48 penumpang dan tiga kru kabin dengan senjata api.

Salah satu pembajak kemudian meminta pilot untuk menerbangkan pesawat itu ke Kolombo, Srilanka. Tentu saja permintaan tersebut tidak mungkin dipenuhi karena keterbatasan bahan bakar avtur. Pesawat akhirnya dialihkan menuju Penang, Malaysia untuk mengisi bahan bakar. Setelah itu, pesawat kembali terbang menuju Bandara Don Mueang, Thailand.

Saat di Malaysia, para penyandera membacakan sejumlah tuntutan, termasuk minta pembebasan tahanan, kemudian terbang menuju lokasi yang dirahasiakan. Bila tuntutan tidak dipenuhi, mereka mengancam akan meledakkan bom yang diklaim telah terpasang di pesawat.

Puncak dari peristiwa penyanderaan yang berlangsung selama empat hari ini terjadi ketika pesawat transit di Bandara Don Mueang di Bangkok, Muangthai, 31 Maret 1981, saat kabar sudah santer di Jakarta, Indonesia. Para pejabat pemerintah terkait segera menggelar rapat. 
Akhirnya, Presiden Soeharto kala itu langsung merilis perintah kepada Panglima TNI Jenderal M.Yusuf (April 1978-Maret 1983) untuk menggelar operasi pembebasan sandera dengan mengirimkan pasukan khusus. Kopassandha (Komando Pasukan Sandi Yudha), cikal bakal Kopassus, menjawab perintah tersebut.

Setelah persiapan selama dua hari, pasukan berangkat ke Thailand. Setelah berkoordinasi dan mendapat izin pemerintah setempat, mereka melakukan berbagai persiapan untuk melaksanakan operasi pembebasan.

Selasa 31 Maret 1981, pukul 02.30 dinihari, pasukan berangkat, kemudian bergerak mendekati pesawat dengan senyap. Mereka membagi diri menjadi tiga tim, yakni Tim Merah, Tim Biru dan Tim Hijau.

Tim Merah dan Biru merayap naik di dua sisi sayap pesawat, sedang Tim Hijau masuk perlahan lewat pintu belakang. Penyerbuan pun dimulai. Tim Hijau yang masuk terlebih dahulu menyergap seorang teroris yang berada di pintu belakang. Sisa satu lagi ada di dalam sedang menyandera penumpang.

Penyerbuan dilakukan, semua pintu kabin pesawat didobrak, sambil meneriakkan instruksi agar semua penumpang tiarap. Benar saja, baku tembak terjadi saat semua penumpang tiarap. Namun semua selesai dalam waktu singkat. Dalam penyerbuan, semua teroris berhasil dilumpuhkan alias tewas, akan tetapi satu personel TNI, Letnan Achmad Kirang gugur dalam baku tembak.

Kapten Pilot Herman Rante terluka, namun akhirnya dinyatakan meninggal dunia di Bangkok, enam hari paska menjalani operasi akibat luka yang dialaminya. Tapi harus digarisbawahi, seluruh penumpang selamat.

2. Operasi Somalia

Pada 16 Maret 2011, Kapal MV Sinar Kudus milik PT Samudera Indonesia berisi empat warga negara Indonesia (WNI) dan 22 orang lainnya, dibajak perompak Somalia di Kepulauan Seychelles, Somalia. Kapal berbobot 8.911 ton itu membawa feronikel dengan tujuan Belanda. Ketika dibajak, MV Sinar Kudus berada di Perairan Somalia tepatnya di sekitar 350 mil laut tenggara Oman.

Pemerintah Indonesia menjawab dengan sebuah operasi pembebasan yang menjadi penyerbuan jarak jauh pertama dalam sejarah TNI. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan pengiriman tiga pasukan khusus, Kopassus, Jala Mangkara (Marinir), dan Kopaska. Mereka didukung dua fregat, yakni KRI Abdul Halim Perdanakusuma-355 dan KRI Yos Sudarso-353, satu kapal LPD KRI Banjarmasin-592 dan satu helikopter, “sea riders” serta LCVP.

BACA JUGA: ANALISIS : Papua Berdarah Lagi, Kronologi yang Diduga Berkaitan

Pada saat mendekat ke Perairan Somalia, tim penyelamat melakukan pengamatan permukaan dan udara yang dimulai dengan jarak 400 mil, hingga jarak 20 mil dengan terus mengikuti perkembangan komunikasi radio dengan satuan- satuan lain dari mancanegara yang beroperasi di perairan itu. 

Tak mudah menemukan Sinar Kudus karena berada di antara puluhan kapal lain yang juga disandera dalam satu wilayah perairan itu.

Sambil menunggu kesempatan, pasukan penyelamat bertolak ke Oman untuk mengisi ulang logistik dan bahan bakar. Dua hari berada di Oman, Jakarta mulai hilang kesabaran. 

Akhirnya pasukan memutuskan bergerak melakukan penyerbuan frontal. Dengan cepat dan senyap, para sandera berhasil diselamatkan. Mereka kemudian dipindahkan ke sebuah kapal di daerah Hobyo, 511 km dari Mogadishu, Somalia.

Selanjutnya, sandera dibawa ke safe house di Golkayo Town, setelah singgah di Budbud, 288 kilometer dari Mogadishu.

Dari Golkayo Town, para sandera kemudian dibawa menggunakan United Nation Humanitarian Flight menuju Wajir Airport, perbatasan Kenya dan Somalia. Mereka tiba pukul 15.30 waktu setempat.

Setelahnya, sandera dibawa ke Bandara Nairobi, Kenya, untuk keluar dari wilayah Somalia. Meski masih perlu beberapa hari untuk pemulihan, keempat sandera berhasil dipulangkan ke Indonesia.

3. Operasi Mapenduma

Operasi Mapenduma merupakan salah satu operasi pembebasan sandera terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia, dan membutuhkan proses panjang selama 130 hari, sejak 8 Januari-9 Mei 1996. Tak hanya itu, penyanderaan Mapenduma turut menyita perhatian dunia internasional. 

Sekjen PBB kala itu, Boutros Boutros Ghali dan Sri Paus Johanes Paulus II turut andil dalam upaya membujuk para pemberontak Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membebaskan para sandera. Selama 130 hari, berbagai mediasi dilakukan untuk menyelamatkan 26 orang (sebagian besar peneliti), yang tergabung dalam Ekspedisi Lorentz '95.

Presiden Soeharto kembali mengirim Kopassus yang kali ini berkolaborasi dengan Kostrad untuk operasi pembebasan sandera dengan menunjuk Brigjen TNI Prabowo Subianto memimpin penyerbuan. Penyanderaan berakhir saat pasukan berhasil melakukan penyergapan gerombolan penyandera yang tengah membawa lari para sandera ke belantara hutan Papua. 

Operasi Mapenduma melibatkan setidaknya 400 personel gabungan TNI dari berbagai kesatuan. Dan dari 26 sandera, dua di antaranya tewas dibunuh OPM saat penyergapan dilakukan.

4. Pembebasan Sandera Tembagapura

Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat/Organisasi Papua Merdeka (TNPPB/OPM) menyandera sekitar 347 warga Tembagapura Papua untuk dijadikan tameng hidup tuntutan kemerdekaan Papua.

Negara menjawab, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menerjunkan beberapa regu kecil pasukan khusus untuk melancarkan serangan senyap mematikan ke jantung pertahanan pasukan OPM di desa Banti dan Kimbely pada 17 November 2017 dini hari. Semua anggota tentara OPM itu lari terbirit-birit masuk hutan dan naik gunung menghindari pasukan TNI.

Setelah operasi pembebasan sandera selama 78 menit, kurang lebih 347 warga Papua tak berdosa berhasil dibebaskan hidup-hidup dari cengkeraman kelompok bersenjata OPM tersebut. Dua anggota TNPPB/OPM tewas dalam baku tembak dengan pasukan khusus TNI.

Detik-detik Penyerbuan

Rencana menyerbu KKB yang berada di Banti dan Kimbeli pada Kamis, 16 November 2017 urung dilakukan mengingat saat itu kelompok separatis sudah kembali membaur dengan masyarakat.

"Saat itu anggota sudah meminta izin kepada Pangdam untuk segera mengatasi KKB karena jarak mereka hanya sekitar 30-50 meter dan ada anggota KKB yang menenteng senjata api," terang Kepala Penerangan Daerah Militer XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Muhammad Aidi di Timika, seperti dilansir kompas.

Namun Pangdam Cenderawasih memberikan petunjuk bahwa jika KKB masih membaur dengan masyarakat sipil, tidak boleh ada tindakan karena operasi penumpasan KKB Tembagapura itu lebih mengutamakan keselamatan warga sipil. 

Lalu, Jumat pagi, sejumlah pentolan KKB yang baru bangun bergerak ke pos-pos di wilayah ketinggian yang sudah mereka dirikan sebelumnya. Dari pos-pos itu, mereka mengibarkan bendera kelompok separatis Papua merdeka (bintang kejora) di sana. 

"Mereka bergerak dengan sangat senyap, sangat rahasia pada malam hari. Lalu pada siang hari mereka mengendap, membeku. Sambil mempelajari situasi secara perlahan sekali mereka sampai di titik sasaran," ujar Aidi seperti dikutip dari Antaranews.com. 

Aidi lanjut menuturkan, satu hari sebelum jam yang disepakati untuk menyerbu, pasukan sebenarnya sudah berada di lokasi masing-masing dan siap untuk beraksi.

"Selama satu hari itu mereka tidak makan," ucap Aidi. 

Saat waktu dinilai tepat, pasukan TNI serentak menyerbu Kampung Kimbeli dan Banti. Kelompok separatis bersenjata itu kocar-kacir menyelamatkan diri ke dalam hutan dan lari ke  area ketinggian sambil membalas dengan tembakan bertubi-tubi.

Saat penyerbuan itu dilakukan, jarak pandang di lokasi hanya sekitar tiga hingga lima meter karena masih berkabut tebal. Setelah KKB lari kocar-kacir meninggalkan kedua kampung itu, aparat gabungan TNI dan Polri lain  bergegas menuju Banti dan Kimbeli untuk membebaskan ratusan warga yang disandera. 

Aidi mengatakan, saat proses evakuasi warga masih berlangsung, kontak tembak antara aparat TNI-Brimob dengan KKB masih terus berlangsung dalam kurun waktu kurang dari dua jam. 

Membebaskan Papua Dari 'Penyanderaan Isu' dan Teror

Dari semua pengalaman operasi pembebasan sandera di dalam dan luar negeri oleh TNI, tak ada satupun yang meragukan kapasitas. Akan tetapi ini sudah terlalu lama, rakyat mulai jatuh bergelimpangan sebagai korban.

Sudah dicatat dengan tinta emas dalam sejarah, empat operasi pembebasan besar-besaran berhasil dilakukan untuk tiga periode kepemimpinan, dari Presiden Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, sampai Joko Widodo.

Kali ini, pembebasan yang harus dilakukan adalah melepaskan Papua tercinta dari 'sandera isu' kemerdekaan yang sengaja dihembuskan pihak-pihak tertentu dari luar negeri dengan menggunakan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) OPM. 

Sejauh ini mediasi, edukasi, dan pendekatan persuasif telah dilakukan hingga berhasil membuat banyak sekali personel KKB OPM turun gunung menyerahkan senjata sekaligus mengakui kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Papua sebagai bagian besar di dalamnya. Banyak dari para anggota KKB itu akhirnya ikut dikaryakan sebagai personel TNI di Papua setelah melalui beragam seleksi, pelatihan, serta penguatan ideologi.

Tapi beberapa waktu belakangan, situasi politik kembali naik akibat hembusan isu-isu kemerdekaan yang mirisnya dilakukan orang-orang Indonesia sendiri yang saat ini memilih tinggal di luar negeri, menanggalkan kewarganegaraannya. 

Teror digunakan untuk menakut-nakuti rakyat dan mengintimidasi negara. Akan tetapi, dengan menilik tinta sejarah selama ini, apabila dilakukan operasi penumpasan besar-besaran, sepertinya tidak akan menjadi suatu hal mustahil untuk menyelamatkan Papua tercinta.