info-publik

Menjadi Muda, Menjadi Indonesia, M. Nabil Haroen

Oleh: Ninding Yulius Permana Editor: Afrizal Aziz 10 May 2020 - 11:41 kbrn-pusat
Pada akhir September 2019, gelombang demonstrasi meluas di beberapa kota di Indonesia. 

Sebagian besar pemuda-pemuda usia mahasiswa dan pelajar, turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Pemuda-pemuda ini bergerak di beberapa kota menandai masa akhir pengabdian anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) 2014-2015 serta pelantikan anggota baru DPR RI tahun 2019-2024. 

Dari aspirasi yang tersalurkan, pemuda-pemuda itu merespons isu tentang revisi UU KPK (Undang-Undang Komisi Pemilihan Umum), RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual), serta persamasalahan lingkungan hidup, ekosistem dan ketahanan pangan. 

Dari media sosial, kita bisa melihat bagaimana gaung dari gelombang demonstrasi yang terjadi pada akhir September 2019.

Apakah gelombang demonstrasi itu merupakan warna dari pemuda Indonesia masa kini? Apa relevansinya dengan Pelantikan Presiden Joko Widodo-Wapres KH. Ma’ruf Amin, serta pengumuman formasi Kabinet Indonesia Maju? 

Secara pribadi, saya melihat betapa energi kreatif pemuda Indonesia sangat besar dengan potensi yang luar biasa. 

Ketika silaturahmi dan menyapa teman-teman muda dari Aceh hingga Papua, pemuda-pemuda Indonesia punya sumber daya kreatif yang melimpah, namun perlu didukung untuk peningkatan kualitasnya. 

Belum lagi potensi diaspora pemuda Indonesia yang sekarang tersebar di luar negeri yang secara pengetahuan, teknologi dan ekonomi punya potensi sangat besar.

Ketika berkunjung ke China, Taiwan, Hongkong, Korea, Timur Tengah, serta beberapa negara Eropa, saya bertemu dengan pemuda-pemuda Indonesia yang sedang belajar, mengerjakan riset serta bekerja profesional. 

Mereka perlu disapa, sekaligus merindukan saluran pengabdian yang tepat untuk bangsa Indonesia. Pemuda-pemuda ini tidak ingin hanya diberlakukan sebagai angka statistik dalam tabel devisa, neraca ekonomi maupun angka-angka tenaga kerja. Mereka ingin mengabdi, mereka ingin menjadi bagian menumbuhkan energi Indonesia. 

Energi Pemuda 

Indonesia menghadapi tantangan bonus demografi dalam beberapa tahun mendatang. Media-media di negeri ini sudah melaporkan bagaimana tantangan sekaligus peluang bonus demografi ini. 

Tugas kita, tentu saja bersama-sama mengawal agar bonus demografi ini menjadi peluang yang dapat menghasilkan keuntungan dan keberuntungan. Dari sisi ekonomi maupun kualitas sumber daya manusia.

Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2019 ini diproyeksikan mencapai 266,91 juta jiwa. Hal ini didasarkan pada survey penduduk antar sensus (Supas) tahun 2015. Dari angka ini, sejumlah 134 juta laki-laki, sedangkan 132,89 juta berjenis kelamin perempuan. Penduduk usia muda dari jumlah angka ini, yakni 68% dari total populasi. 

Indonesia saat ini sedang menikmati menjadi masa bonus demografi, yang mana penduduk usia produktif lebih banyak daripada penduduk usia tidak produktif.

Rasio ketergantugan (dependency ratio) peduduk Indonesia saat ini mencapai 45,56%. Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa setiap 100 orang yang berusia produktif (angkatan kerja) punya tanggungan 46 penduduk usia kurang produktif (yakni usia 0-14 tahun atau 65 tahun ke atas).

Bonus demografi ini haruslah ditangani degan baik, terstruktur dan terintegrasi dengan rencana pemerintah masa mendatang. 

Presiden Ir. Joko Widodo- Wapres Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin sadar betul dengan potensi bonus demografi dan tantangan sumber daya ini. Pada formasi Kabinet Indonesia Maju, kita melihat menteri-menteri usia muda dengan kiprah di bidang teknologi, ekonomi dan pengetahuan. 

Bahkan, Presiden Jokowi menunjuk Nadiem Makarim menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Nadiem Makarim dikenal karena sukses mengembangkan Go-Jek sebagai perusahaan decacorn dengan valuasi tinggi. 

Meski, dengan skala pertumbuhan masifnya, Gojek dan kepimpinan Nadien Makarim juga perlu kritik untuk penyeimbang.  

Energi kemarahan pemuda global

Dalam lanskap global, sekarang ini muncul aspirasi publik dari kelompok pemuda dengan gelombang yang semakin membesar. 

Kita bisa melihat gelombang demonstrasi dari Hongkong hingga Chile, dari Lebanon hingga Barcelona. Dari berbagai kanal informasi, kita bisa menyaksikan bagaimana energi pemuda-pemuda di Hongkong yang terus berdemonstrasi dalam periode yang lama. 

Mereka punya energi besar, terkoneksi dengan jaringan internet, punya pola koordinasi yang ringkas, serta bisa memainkan strategi kampanye sekaligus manajemen isu melalui media sosial. 

Data statistik menunjukkan bahwa jumlah usia muda penduduk dunia lebih besar dari periode-periode sebelumnya. Sejumlah 41% penduduk dunia dari 7,7 miliar jumlah warga berusia di bawah 24. Di Afrika, sekitar 41% jumlah penduduknya berusia di bawah 15 tahun. Sedangkan, di Asia dan Amerika Latin, yang mana mengcover 65% dari jumlah penduduk dunia, jumlah usia mudanya sekitar 25%. Di kawasan Eropa, jumlah peduduk usia di bawah 15 tahun sekitar 18%.

Di berbagai kawasan di dunia, pemuda-pemuda ini punya pengalaman dalam berbagai ketegangan keamanan maupun kepahitan ekonomi global. Pemuda-pemuda di beberapa negara Amerika Latin dan Eropa, merasakan terpaan krisis finansial tahun 2008 yang berdampak langsung dengan pekerjaan orang tua atau keluarga mereka. 

Program-program pemerintah yang merespon krisis ekonomi, juga berdampak langsung dengan skema pendidikan, asuransi kesehatan dan inflasi kebutuhan pokok keluarga. Pemuda-pemuda ini merasakan langsung betapa cengkeraman ekonomi global, program pengetatan dan penghematan (austerity), serta pemangkasan subsidi untuk asuransi kesehatan. 

Sementara, di beberapa negara Timur Tengah, pemuda-pemuda punya pengalaman merasakan gelombang politik berupa Arab Spring. Terpaan efek Arab Spring merata hampir di semua negara-negara Timur Tengah: Mesir, Sudan, Libya dan beberapa negara lain. Bahkan, gelombang demonstrasi juga pernah muncul di Turki pada masa awal kepemimpinan Erdogan, yang dialami oleh pemuda-pemuda yang sekarang ini berusia di bawah 25 tahun. 

Simon Tisdall, kolumnis the Guardian Inggris, mengungkapkan bahwa fenomena anak-anak muda yang bergerak dan terlihat marah ini merupakan fenomena global. 

“Fenomena global atas tidak tersalurkannya aspirasi anak-anak muda ini memproduksi bom waktu politik. Setiap bulan di India, satu juta penduduk menjadi berusia 18 tahun serta punya hak untuk ikut pemilihan umum. Sementara di Timur Tengah dan Afrika Utara, sekitar 27 juta pemuda akan memasuki usia kerja sekitar lima tahun mendatang,” tulis Tisdall (the Guardian, 27/10/2019).

Untuk Indonesia, tentu saja kita tidak ingin energi pemuda-pemuda negeri ini bergeser menjadi energi kemarahan. Berbagai tantangan muncul di depan mata, terkait dengan oligarki politik maupun kerusakan sumber daya alam di berbagai kawasan.

Tantangan resesi global juga harus dihadapi dengan strategi terencana dengan koordinasi antar pihak untuk menjaga benteng ekonomi kita. 

Untuk pemuda-pemuda Indonesia, kita haruslah menyuarakan aspirasi dengan kanal-kanal yang telah tersedia secara sehat, transparan dan terukur. Marilah menjadikan ‘energi kemarahan’ ini menjadi energi kreatifitas, inovasi, serta produktifitas untuk membangun negeri. marilah kita menjadi pemuda, menjadi Indonesia.

Ditulis: M. Nabil Haroen

[Ketua Umum PP Pagar Nusa Nahdlatul Ulama, Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI]