teknologi

Indonesia Perlu Ambil Langkah Tegas terhadap Pencurian Sumber Daya Hayati

Oleh: Heri Firmansyah Editor: Heri Firmansyah 10 May 2020 - 11:41 kbrn-pusat

KBRN, Tangerang : Indonesia perlu mengambil langkah-langkah konkrit untuk mencegah kekayaan sumber daya hayati, terutama sumberdaya genetik dan pengetahuan tradisional, tidak dicuri oleh negara lain atau dikenal dengan istilah biopiracy.

Penegasan itu disampaikan oleh Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Maritim dan Investasi, Agung Kuswandono dalam Seminar Nasional Pencegahan Pencurian Sumber Daya Hayati (Biopiracy) Indonesia di Hotel Sheraton Bandara, Tangerang, Senin (28/10/2019). 

Menurut dia, Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia (megabiodiversity) dan tergolong negara yang memiliki tingkat endemisme tertinggi di dunia.

"Kita memiliki setidaknya 47 ekosistem alami yang berbeda. Keanekaragaman hayati Indonesia tersebut merupakan potensi dan aset nasional dan basis peningkatan kesejahteraan masyarakat di masa yang akan datang, atau dikenal sebagai emas hijau. Keanekaragaman hayati berpotensi untuk sebagai bahan pangan, papan, obat obatan dan kosmetik," ujar Agung.

Saat ini, pemanfaatan sumberdaya hayati untuk industri di Indonesia masih relatif kecil dibandingkan dengan potensi yang ada. Bahkan, salah satu penelitian menyebutkan hanya sekitar 5% saja potensi sumberdaya hayati yang sudah dimanfaatankan untuk industri.

Agung menjelaskan, dari hasil suatu penelitian disebutkan bahwa dari 150 obat-obatan yang diresepkan dokter di Amerika Serikat, 118 jenis berbasis sumber alam, yaitu 74% dari tumbuhan, 18%  jamur, 5% bakteri, dan 3% vertebrata seperti ular. Nilai obat-obatan dari bahan alam mencapai 40 miliar dollar Amerika Serikat per tahun. Industri farmasi atau obat-obatan memang merupakan industri yang sangat besar, dengan perkiraan persentase dari keseluruhan nilai industri bahwa nilai tumbuhan alami yang digunakan dalam industri farmasi berkisar dari USD 400-900 Milyar per tahun.

“Riset, pengembangan teknologi  dan peningkatan kualitas SDM dibidang sumber daya hayati harus ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan program prioritas Kabinet Indonesia Maju yaitu peningkatan kualitas SDM. Karena jika tidak dimanfaatkan oleh Indonesia, maka potensi yang keanekaragaman hayati yang besar tersebut, akan dimanfaatkan oleh negara maju dan perusahaan multinasional," tegas Agung

Lebih lanjut ia menegaskan, pencurian terhadap sumberdaya hayati, terutama sumberdaya genetik Indonesia (biopiracy), menjadi masalah yang akan merugikan ekonomi Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya sumber daya genetika seperti obat, bahan industri dan pangan dipatenkan ataupun diambil dan dimanfaatkan tanpa izin oleh perusahaan dan pakar luar negeri.

"Lalu bagaimana jika misalnya obat-obatan yang diproduksi oleh perusahaan obat besar yang bahan dasarnya diperoleh dari tanaman yang berasal dari suatu masyarakat tradisional atau tanaman yang hanya dapat tumbuh di suatu wilayah masyarakat tertentu?" ungkapnya. 

Sementara Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), Ocky Karna Radjasa saat menjadi pembicara kunci pada seminar nasional tersebut mengatakan, UU Sisnas Iptek memberikan perlindungan bagi Sumber Daya Hayati Indonesia sekaligus memberikan sanksi bagi semua pihak yang melanggar ketentuan terkait dengan penelitian asing.

Sanksi yang terdapat dalam UU tersebut mulai dari sanksi administratif sampai dengan sanksi pidana.

“Kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) asing dan/atau orang asing dan orang Indonesia yang melakukan penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan (Litbangjirap) di Indonesia dengan dana yang bersumber dari pembiayaan asing, di antaranya wajib menyerahkan data primer kegiatan Litbangjirap, serta memberikan pembagian keuntungan secara proporsional sesuai dengan kesepakatan para pihak yang berkepentingan," terang Ocky.

“Setiap orang asing yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana disebut pada pasal 76 diberikan sanksi berupa:peringatan tertulis; penghentian pembinaan; denda administratif; pencantuman para pelanggar dalam daftar hitam pelanggaran Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan; dan/atau pencabutan izin," lanjut Ocky.

Ia menjelaskan bahwa bagi setiap orang asing yang melakukan Litbangjirap tanpa izin, dikenai sanksi secara bertahap, mulai dari sanksi administratif berupa pencantuman dalam daftar hitam orang asing yang melakukan Litbangjirap di Indonesia, sampai dengan sanksi pidana berupa pidana denda paling banyak 4 milyar rupiah.

“Di sini saya ingin menekankan bahwa sanksi yang diberikan kepada peneliti asing yang tidak berizin tidak langsung sanksi pidana, tetapi sanksinya diberikan secara bertahap. Jika dilakukan berulang kali, baru dikenakan sanksi pidana. Untuk pelanggaran pertama, dikenakan sanksi administratif," tegas Ocky.