info-publik

Wanita Dan Sepak Bola

Oleh: Anik Hasanah Editor: 10 May 2020 - 11:40 kbrn-pusat
KBRN, Surabaya : "Kesan pertama, kaget! Karena nggak terbiasa masuk di lingkungan atlet, terutama ke pemain-pemain bola, dan pendekatannya itu cukup berat," ujar Wahyuhestiningdiah, reporter media daring di Jatim, Rabu (6/11/2019).

Wahyu, panggilan akrab Wahyuhestiningdiah menjadi satu satunya reporter yang meliput tim sepak bola di Surabaya. Perempuan tambun berhijab ini mengaku telah menjadi reporter sepak bola sejak tahun 2015 sampai sekarang. 

"Berarti jalan empat tahun," katanya. 

Wahyu, yang sebelumnya menjadi reporter salah satu TV lokal di Surabaya ini mengakui, untuk menjadi reporter sepak bola tidak semudah meliput even lainnya. Menurutnya, pendekatan kepada para atlet cukup berat. 

"Soalnya mereka itu beda sama kayak narasumber-narasumber lain, mereka itu lebih tertutup," ungkapnya. 

Pemain-pemain bola itu, kata Wahyu, tidak segampang ketika wawancara dengan narasumber lain, seperti wawancara dengan polisi, model, dan lain sebagainya. Mereka itu, lanjut Wahyu, cenderung menutup diri.

"Karena mereka takut dan sangat berhati-hati dengan media," katanya. 

Tapi Wahyu tidak hilang akal, strategi yang diterapkan atau dilakukannya untuk bisa mengambil hati para pemain sepak bola adalah dengan cara menjadikan mereka teman.

"Nggak kayak reporter sama narasumber sih," tuturnya. 

Wahyu yang juga suka memfoto itu, menjadikan kehliannya mendekati pemain. Dirinya tak sedikitpun melepaskan momen momen ketika para pemain berlatih, bermain, interaksi apapun. Sehingga para pemain yang justru mendekati Wahyu. 

"Jadi kayak motret gitu mereka pasti akan berinteraksi 'Mbak punya fotoku nggak' kayak gitu, dari situ kita temenan teman, teman, teman, akhirnya mereka sedikit mau membuka diri, bahwa media itu tidak seseram yang kita bayangkan," paparnya. 

Setiap pos liputan, pasti ada yang namanya pengalaman suka dan duka. Begitu juga Wahyu, perempuan, berjilbab juga, tetapi bergelut meliput sepak bola yang notabene diidentikkan dengan kaum Adam atau laki laki. 

"Dukanya adalah karena pos olahraga itu minoritas, nah sisanya lingkungan kita itu kebanyakan laki-laki," akunya. 

Tapi bagaimanapun juga, Wahyu sempat merasa risih ketika sedang menjalankan pekerjaannya tersebut. Salah satunya adalah, ketika pemain usai bertanding, apakah saat berlatih atau pertandingan resmi. Karena sang atlet tiba-tiba ganti baju. 

"Kayak pemain bola, atlet-atlet itu kan setelah latihan itu kan gitu loh, kita itu sering melihat dia itu tiba-tiba ganti baju gitu pokoknya," paparnya. 

Tapi pengalaman itu hanya sebagian kecil duka yang dirasakannya. Wahyu mengaku lebih banyak sukanya. Salah satunya, kata Wahyu, dirinya lebih kenal dan lebih dekat dengan lingkungan atlet-atlet sepak bola, dari kelas lokal bahkan internasional. 

"Banyak kenal pemain-pemain bola yang udah Timnas, Internasional, kayak gitu, lebih banyak pengalaman sih dibanding sama kayak kita liputan yang lain," ujarnya. 

Meski demikian, ada pengalaman pahit yang tidak bisa dilupakannya, yaitu aksi kerusuhan yang dilakukan oleh oknum suporter. Aksi rusuh ulah oknum suporter, kata Wahyu, tidak seperti demo demo pada umumnya. 

"Ketika kita di tengah lapangan itu ambil gambar kalau rusuh kita harus melindungi diri kita sendiri itu yang ku masih kadang trauma healing lah kita kalau ada suporter suporter rusuh," jelasnya. 

Bercerita tentang awal terjun menjadi reporter sepak bola, Wahyu mengaku awalnya tidak terbiasa, tapi lama-lama ya terbiasa. Bahkan Wahyu mengaku, kadang distimewakan oleh teman-teman sesama reporter, karena dia satu-satunya perempuan. 

"Seumpama di pos lain banyak ceweknya, pasti perhatiannya itu kan dibagi-bagi sama cewek yang lain, lah kalau di olahraga kan aku cewek sendiri, jadi mereka itu lebih intens, menolongnya itu lebih besar," kelakar Wahyu. 

Menjadi satu satunya jurnalis perempuan di olahraga khususnya sepak bola, membuat Wahyu merasa istimewa. Terlebih teman temannya yang lain, memperlakukannya dengan baik. Bahkan dengan itu, Wahyu mendapatkan kemudahan akses liputan.

"Itu yang kadang membuat kita, yang cewek di olahraga itu agak manja sih, tapi keuntungan kita yang selalu dilindungi oleh pria-pria itu membuat akses kita itu lebih gampang masuk di cabang olahraga yang lain," ceritanya. 

Kerusuhan yang dilakukan oknum suporter Persebaya usai Persebaya takluk 2-3 dari PSS Sleman dalam laga lanjutan Liga 1 2019, Selasa 29 Oktober 2019. Menurut Wahyu, kerusuhan ini paling membuatnya takut dan paling parah. 

"Saya sempat tiga kali dapat ricuhnya Persebaya, dan yang paling dahsyat itu yang kemarin yang terakhir, sudah mainnya jelek, kalah lagi, sama tim yang ada dibawahnya habis itu para penonton suporternya dia itu nggak terkendali," paparnya. 

Waktu itu, kata Wahyu, niatnya adalah mengambil atau mengabadikan momen ke salah satu pemain yang diintimidasi oleh suporter yang tidak puasa. 

"Akhirnya aku agak maju dan ternyata di depanku itu sudah ada suporter yang bawa besi dan ngomong sambil teriak 'sekali lagi Kamu foto, tak pukul kamu pakai besi ini' itu aku langsung speechless," tuturnya. 

Wahyu langsung mundur pada saat itu, karena sebelumnya ada wartawan yang terkena lemparan seperti besi, kemudian harus dijahit kepalanya. Tapi pengalaman pengalaman semacam itu, menurut Wahyu perbedaan dari liputan olahraga dengan liputan lainnya. 

"Dan aku nggak pengen itu terjadi pada diriku, dan itu satu-satunya adalah aku tidak mengeluarkan kamera lagi dan berlindung ke teman-teman media yang kiranya aman. Pada saat itu beruntung, seumpama aku tidak ditolong oleh teman teman, paling aku juga sudah bocor kepala," katanya. 

Antara sengaja dan tidak sengaja, ketika Wahyu akhirnya harus menjadi reporter sepak bola. Dia bercerita, saat itu media yang saat ini menaunginya, memang membutuhkan reporter olahraga. Awalnya tawaran itu ditolak namun harus dijalani. 

"Awalnya saya nggak mau nerima karena nggak pernah sama sekali dan nggak kepikiran. Nggak suka liputan olahraga, karena yang pertama adalah lingkungannya terlalu banyak cowok," ceritanya. 

Wahyu benar benar merasakan berat dan sulitnya menjadi reporter olahraga di lingkungan reporter laki laki. Menurutnya, cobaan yang dilalui juga lebih besar, selain di lingkungan reporter, juga lingkungan narasumbernya. 

"Jadi cobaannya itu lebih besar di olahraga, menurutku lebih besar. Karena rawan, aku bilangnya 'nyepik' (genit, red) rawan menggoda itu lebih besar dibandingkan kita liputan reguler," tuturnya. 

Sehingga, lanjut Wahyu, harus pandai-pandai melihat situasi. Berhadapan dengan para atlet itu, aku Wahyu, seperti benar-benar tergoda, tapi harus menahan. Bahkan Wahyu sempat mengalami frustasi selm tiga bulan pertama. 

"Awalnya sempet tiga bulan awal saya frustasi, karena menurutku olahraga itu susah. Ngomong ke redaktur 'Mas, aku pindah saja ya, pindah ke kesehatan' nggak boleh ternyata," ujarnya. 

Karena pada saat itu, selain dirinya sama sekali tidak suka bola, kemudian tidak mengerti sepak bola, tapi harus menghafal tim sepak bola di Jawa Timur. Pokoknya hampir frustasi," tambahnya. 

Kantor Wahyu tetap memberikan kepercayaan dan kesempatan kepadanya selama satu tahun untuk memperbaiki. Dari serahun itu, akhirnya membuat Wahyu 'terpaksa' mengerti dan menghafal para pemain yang diliputnya. 

"Akhirnya ya mungkin jalannya, jadi ya kita nikmati aja, lama-lama jadi cinta, jadi suka kayak gitu," tandasnya. 

Kini, Wahyu semakin mencintai profesinya, bahkan mencintai sepak bola. Perempuan penggemar Persebaya Surabaya ini juga mulai merambah mengagumi sepak bola luar negeri, khususnya tim tim dari negeri Tirai Bambu, China dan Jepang.