info-publik

Aristides Katoppo, Pejuang Bernyali Inspirasi Jurnalis Muda

Oleh: Editor: Syarif Hasan Salampessy 10 May 2020 - 11:40 kbrn-pusat
KBRN, Jakarta : Kristin Samah, Ketua AJI Abdul Manan, pengamat media Ignatius Haryanto, jurnalis senior Tempo Bambang Harymurti, eks jurnalis Sinar Harapan Atmadji Sumarkidjo tampil sebagai pembicara pada acara Mengenang Aristides Katoppo bertajuk "Nurani Jurnalis di Tengah Ketidakpastian", bertempat di auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, Jumat (8/11/2019). 

Acara mengenang Aristides Katoppo yang adalah wartawan koran Sinar Harapan tersebut diselenggarakan para Sahabat Tides yang turut mengundang pakar kajian media Universitas Murdoch Australia, David T Hill untuk memberi sesi renungan.

Aristides Katoppo dikenal sebagai wartawan senior pemberani kelahiran Tomohon, 14 Maret 1938, yang teguh memperjuangkan kebenaran meski medianya dibredel berkali-kali. Dirinya merupakan pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Katoppo wafat di Jakarta, Minggu, 29 September 2019, pada usia 81 tahun akibat serangan jantung.

Tides sapaan karib Katoppo, dikenal sebagai sosok wartawan Indonesia yang berhasil mendapatkan berita eksklusif mengenai tawaran Amerika Serikat (AS) John F Kennedy (JFK) kepada Presiden Soekarno untuk menengahi perundingan dengan Belanda soal Irian Barat.

Surat tersebut disampaikan Robert (Bob) F Kennedy, adik JFK yang pada waktu itu menjabat sebagai Jaksa Agung AS, saat berkunjung ke Istana Merdeka pada Januari 1964. Presiden Kennedy meminta Indonesia tidak menggunakan kekerasan militer dan senjata dari Uni Soviet. 

Isi surat yang diperoleh Tides secara eksklusif itu menjadi berita utama Sinar Harapan dan The New York Times (NYT). 

"Semua media internasional mengutip pemberitaan New York Times. Ada rombongan wartawan yang dibawa Bob dari AS tetapi tidak berhasil mendapat surat itu," kata Tides kepada CNN Indonesia, 29 Desember 2015. 

Pada saat itu, status Tides juga adalah sebagai koresponden untuk NYT, sehingga ia memperoleh bonus US$ 500 dari media ternama AS itu. Bingung hendak diapakan, uang sebanyak itu lantas dibelikan sebuah sepeda motor guna keperluannya liputan.

Putra dari Elvianus Katoppo, mantan Menteri Pendidikan dan Agama Negara Indonesia Timur itu juga gencar menulis soal penembak misterius (petrus) di masa pemerintahan Presiden RI kedua, Soeharto. Akibatnya cukup fatal, kantor surat kabar Tides di Malang dikirimi kotak berisi kepala orang yang baru menjadi korban petrus. 

"Jurnalis juga harus punya nyali untuk mengungkapkan kebenaran, karena berita yang diturunkan tak bisa menyenangkan semua orang," kata Tides, seperti dikutip Nawacita.co. 

Keberanian Tides dalam menulis kerap berbuah ancaman dan sanksi pembredelan. Namun, semua itu tak membuatnya jera atau kapok. Dan hal itulah yang membuatnya berhasil mendapat kesempatan belajar di berbagai universitas terkemuka, seperti Stanford dan Harvard. Katoppo meninggalkan Indonesia tak lama setelah Sinar Harapan dibredel pada 1972.

Selain sebagai wartawan, sosok Tides juga dikenal sebagai pegiat organisasi pecinta alam. Sewaktu masih menjadi mahasiswa, ia bergabung dengan Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI), dan kerap mendaki gunung bersama Soe Hok Gie, Rudy Badil, dan Herman Lantang. Sebelum meninggal, Tides pernah berpesan agar jika ia meninggal nanti, ia dikremasi dan abunya ditaburkan di gunung. 

Kecintaannya terhadap alam dimulai sejak ia kecil. Saat terjadi Perang Dunia II, pesawat Sekutu sempat menjatuhkan bom di Minahasa, Sulawesi Utara. Salah satunya di kawasan persawahan, tidak jauh dari rumah Tides. Ia dan keluarganya pun mengungsi ke kebun kopi milik salah satu pegawai ayahnya. Saat tidur di sebuah pedati yang ada tendanya, tanpa sadar ia terguling keluar tenda. Ketika menengadah, Tides melihat indahnya bintang-bintang bertaburan di langit. Menurut Mimis Katoppo, istri Tides, pengalaman itu adalah ingatan yang sangat mengesankan bagi Tides. 

"Sampai sekarang pun Tides senang menerawang ke langit, bila bintang-bintang bertaburan,” kata Mimis dalam buku Tides Masih Mengembara, yang diterbitkan pada peringatan ulang tahun Tides ke-80, tahun lalu. 

Pengalaman ini menjadi salah satu alasan Tides bersama kawan-kawannya untuk mendirikan lembaga swadaya masyarakat, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Dalam kesehariannya sebagai wartawan dan pegiat lingkungan hidup, Tides juga dikenal sebagai sahabat Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Mereka memiliki pandangan-pandangan yang sejalan mengenai kebhinekaan. Anita Wahid, putri Gus Dur, melalui akun Twitternya turut menyampaikan ungkapan duka cita saat Tides meninggal dunia.

"Innalillahi wa innailaihi rojiuunnn...Turut berbelasungkawa atas kepergian Bapak Aristides Katoppo, seorang pejuang kebebasan pers dan jurnalisme. Semoga engkau sudah dalam damai di sisi-Nya, Pak Tides. Mungkin sekarang engkau sedang bersenda gurau dengan Gus Dur di sana." Demikian tulis Anisa lewat akun @AnitaWahid. 

Dalam peluncuran buku Resonansi Kepemimpinan Transformatif Kang Yoto di Yogyakarta pada 2016, Tides pernah mengungkapkan tentang kebersamaan dan kebhinekaan yang menjad modal sosial Indonesia. Kedua hal tersebut adalah aset yang tidak bisa diukur dengan uang. 

"Sayang sekali, di dunia sekarang ini kekayaan sosial kurang dianggap penting karena politik dan pasar adalah panglima," ujar Tides seperti dikutip Sinar Harapan. 

Padahal, Indonesia lahir karena memiliki kemampuan sosial dan budaya berupa toleransi tinggi terhadap kebhinekaan. Jika modal sosial tersebut tidak dirawat, Indonesia akan rawan mengalami gesekan dan konflik, seperti yang terjadi di negara lain.

(Berbagai sumber / Foto: dw.com-@aji_surabaya)