info-publik

Ketika Jokowi-Paloh Berbalas "Pantun"

Oleh: Danang Sundoro Editor: Afrizal Aziz 10 May 2020 - 11:40 kbrn-pusat
KBRN, Jakarta : "Perang" terbuka dimulai antara Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh. Keduanya pun saling menyerang dengan berbalas "pantun".

Jokowi membacakan "pantun" untuk Paloh saat memberikan sambutan ulang tahun ke-55 Partai Golkar di Hotel Sultan, Jakarta Selatan, Rabu (6/11/2019). 

Jokowi menyebut Paloh lebih cerah setelah bertemu Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman, yang diwarnai dengan rangkulan erat. "Tidak pernah saya merasakan rangkulan seerat itu dari Bang Surya," kata Jokowi setengah menyindir.

Namun, Jokowi mengaku, saat bertanya ke Paloh ihwal pertemuannya dengan Sohibul, raja media itu enggan menjawab. Jokowi kemudian mengingatkan, pertanyaan tersebut perlu ia lontarkan mengingat Nasdem merupakan bagian dari koalisi partai politik pendukung pemerintah.

Pertemuan Paloh-Sohibul yang disoal Jokowi itu terjadi pada 30 Oktober 2019 di Kantor DPP PKS di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan. Usai pertemuan, dengan nada berseloroh Sohibul menyatakan kursi PKS dan Nasdem di DPR RI hampir mencapai 20%, ambang batas untuk dapat mengajukan calon presiden/wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2024.

Entah karena terpancing dengan pernyataan Sohibul yang "provokatif" itu atau karena sebab lain, Jokowi seakan memberikan catatan khusus buat Paloh. Untuk ukuran seorang Presiden, apalagi wong Solo, apa yang disampaikan Jokowi itu tergolong keras. Lalu, bagaimana reaksi Paloh?

"Maka hanya ada satu kata: lawan!", tulis penyair Wiji Thukul (1966-...) dalam sajaknya, "Peringatan" (1996).

Mungkin terinspirasi oleh puisi penyair yang raib dan tak jelas rimbanya hingga kini itu, Paloh pun melancarkan jurus perlawanan. "Pertahanan terbaik adalah menyerang," kata Sun Tzu (545-470 SM), filsuf, jenderal dan ahli strategi perang asal Tiongkok kuno yang menulis "kitab perang" "The Art of War" (Seni Perang) ini. Paloh mungkin terinspirasi strategi perang ala Sun Tzu ini.

Mungkinkah Paloh tersinggung dengan, katakanlah sindiran atau bahkan ledekan Jokowi yang disampaikan secara terbuka itu?

Melalui forum terbuka pula, yakni Kongres II Partai Nasdem yang dimulai pada Jumat (8/11/2019) kemarin dan akan berlangsung hingga Senin (11/11/2019) nanti di JI Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Paloh pun melancarkan serangan balik dengan melontarkan "pantun" yang kita yakini ditujukan untuk Jokowi.

Paloh menilai ada kecurigaan politik yang timbul usai dirinya berangkulan dengan Sohibul Iman. Siapa yang mencurigai Nasdem usai pertemuan mesra dengan PKS? Paloh mengaku tidak tahu, tapi pasti ada.

Paloh prihatin dengan gaya politik penuh kecurigaan itu. Menurutnya, hal itu merupakan tingkat diskursus politik yang paling picisan di negeri ini.

Tidak itu saja, "pantun" balasan Paloh juga ia tunjukkan dengan mengundang dan memanggungkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di mimbar Kongres II Nasdem. Dalam pidatonya, Anies juga "menyerang" Jokowi dengan menyatakan ada ketimpangan yang sangat nyata di Indonesia, dan membangun persatuan tidak bisa dilakukan bila masih ada ketimpangan. 

Sudah bukan rahasia lagi, Anies yang pernah dipecat Jokowi dari jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah "antitesis" dan "antagonis" dari mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Anies, misalnya, menawarkan pekerjaan bagi mahasiswa yang menjadi korban demonstrasi anarkhis menentang pemerintahan Presiden Jokowi.

Kawan dari lawan adalah lawan. Mungkin itulah prinsip yang dipegang Jokowi. Ketika Paloh berkarib ria dengan Anies, maka diterjemahkan sebagai "lawan".

Bukan kali ini saja Paloh kompak dengan Anies, bahkan di arena Kongres II Partai Nasdem itu, Paloh menyapa Anies dengan sebutan adik, dan Anies menyapa Paloh dengan sebutan abang (kakak), beberapa waktu lalu Paloh juga secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap Anies, yang kemudian dikonotasikan sebagai dukungan untuk Pilpres 2024.

Mungkin karena itulah Paloh harus sedikit patah hati terkait susunan Kabinet Indonesia Maju yang dilantik Presiden Jokowi pada 23 Oktober lalu. Meski sudah dapat jatah tiga menteri, yakni Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, dan Menteri Komunikasi dan Informasi Jhonny G Plate, namun karena kursi Jaksa Agung lepas dari genggamannya, Paloh sepertinya meradang.

Maklum, melalui tangan Jaksa Agung, siapa pun bisa dengan mudah "menghabisi" lawan-lawan politik atau bisnisnya. Sebab itulah kursi Jaksa Agung begitu "seksi" bagi parpol.

Sayangnya bagi Paloh, kursi empuk Jaksa Agung itu diberikan Jokowi kepada pejabat internal Kejaksaan Agung, yakni ST Burhanuddin yang merupakan adik kandung politisi PDIP Tubagus Hasanuddin. Ke depan diprediksi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri-lah yang akan "mengendalikan" Jaksa Agung, bukan Paloh lagi seperti asumsi yang muncul semasa Kabinet Kerja.

Akankah Jokowi memenuhi undangan Paloh sekaligus menutup Kongres II Nasdem? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, bila Jokowi hadir, maka itu akan mengurangi ketegangan hubungannya dengan Paloh.

Atau bisa jadi Jokowi memilih tidak hadir karena tersinggung dengan "pantun" Paloh itu. Aksi-reaksi ini, sebab-akibat ini, akan saling berkelindan satu sama lain, seperti pertanyaan lebih dulu mana ada antara telur dan ayam.

Alhasil, politik memang benar-benar panggung sandiwara. Bila lucu, jenakanya melebihi panggung stand up comedy. Bila tragis, tragedinya melebihi Brutus menikam Julius Caesar.

Pun, membuktikan kebenaran adagium: di dalam politik tak ada kawan atau lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan. Mungkin lantaran kepentingan Paloh tidak seluruhnya diakomodasi Jokowi, maka ia mulai beringsut dari kawan menjadi lawan. Paloh mulai mencari sebanyak-banyaknya kawan untuk melawan.

Bila memang Paloh gentle atau kesatria, maka sepatutnya ia tidak tanggung-tanggung lagi: menjadi oposisi kritis bersama PKS di DPR, dan tarik semua menterinya dari kabinet Jokowi. Jangan bermain dua kaki!

Bagi Jokowi, kalau memang sudah tidak seiring sejalan lagi dengan Paloh, maka biarkan dia menempuh jalan politiknya sendiri. Jangan sampai ada mitra koalisi yang ibarat menjadi duri dalam daging yang bisa menusuk dari dalam, atau setidakmya menjadi kerikil di dalam sepatu yang mengganggu kenyamanan kita berjalan. Itulah!

Oleh : 
Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta