info-publik

Keceriaan Difabel, Harus Ditularkan dan DiGelorakan

Oleh: Cecep Jambak Editor: Super Admin Portal RRI.co.id 10 May 2020 - 11:39 kbrn-pusat

KBRN, Jakarta : Mengurangi bahkan menghapus stigma negatif terhadap kaum difabel menjadi pekerjaan yang sulit diterapkan. Butuh dukungan dari keluarga terdekat, lingkungan, dan terpenting dari pemangku kepentingan. 

Penilaian itu diutarakan Pakar Komunikasi Publik Universitas Katholik Atmajaya Yogyakarta, Lukas Ispandriarno, dalam Segmen Kolom Bicara dialog Pro 3, Rabu (20/11/2019) pagi tadi.
Lukas menilai, hal dasar untuk dilakukan yakni memberikan dukungan dari keluarga terdekat dan lingkungan sekitar. Bagaimana, pihak keluarga wajib menghilangkan kebimbangan untuk mengabarkan keberadaan penyandang disabilitas di tengah masyarakat luas.

“Mengurangi stigma negatif, bahkan menghapus tentu butuh proses yang panjang. Pertama itu datang dari keluarga, masyarakat sekitar yang memberi dukungan. Acap kali keluarga bimbang dalam mengabarkan jika ada keluarga ada yang difabel. Kalau ada teman yang difabel, justru harus didekati, ditemani, peduli, disuport, bukan dijauhi,” ungkap Lukas dalam dialog yang mengetengahkan topik ‘Keberhasilan Atlet Tuna Daksa Indonesia Karisma Evi Tiarani’.

Kedua, lanjut Lukas, memang dukungan yang kuat harus diberikan oleh kelompok masyarakat dan media. Bagaimana kelompok masyarakat dan media terus berjuang dalam menggambarkan semangat, keceriaan, dan menyuarakan prestasi dari kaum difabel. 

“Ini sering kali tidak ditunjukkan. Mereka memiliki semangat ceria, tapi seringkali digambarkan secara terbalik. Keceriaan ini yang harus digelorakan, ditularkan pada teman difabel dan masyarakat luas,” kata Lukas.

Terakhir, tambah Lukas, adalah pemangku kepentingan yakni pemerintah, bagaimana untuk menyediakan ruang, dan memberikan hak-hak kaum difabel. Dimana dalam hal ini pemerintah harus maksimal dalam menerapkan UU nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.

”Pemerintah harus lebih memberikan ruang pada difabel pada semua sektor, terutama hak-haknya, apa saja, hak hidup. Kita bisa melihat bagaimana di ruang publik, apakah sudah ada akses, misalkan untuk kursi roda, tempat ibadah, kantor, toko, masih sangat langka, apalagi pada ruang publik, dan transportasi publik. Ini yang menjadi PR,” ungkapnya.

Lukas menilai, saat ini memang sangat banyak kaum difabel yang memiliki mental kuat, semangat dalam berprestasi, dan dalam bekerja. Artinya, teman difabel sudah memberikan upaya kemandirian dalam menjalankan aktivitas kehidupan.

“Serba terbuka dan serius pemerintah menerapkan UU disabilitas, sehingga lembaga pemerintah dan lembaga lain menyediakan pekerjaan dan membuka ruang bagi teman difabel. Berapa yang diterima, UU telah mewajibkan, lalu dalam praktiknya bagaimana,” ujarnya.

“Soal pekerjaan paling utama, belum lagi kesehatan. Bagaimana dalam fasilitas kesehatan, apakah di rumah sakit, mengakses ruang perawatan. Serta pendidikan, bagaimana mereka bisa mengikuti sekolah. Tidak disendirikan yang seharusnya justru mereka disatukan, sehingga mereka dapat hidup dalam masyarakat yang nyata, hidup yang beragam,” pungkasnya.