hukum

Tersangka Meikarta Bartholomeus Toto, Layangkan Surat Minta Perlindungan Jokowi

Oleh: Azis Zulkarnaen Editor: 10 May 2020 - 11:38 kbrn-pusat
KBRN, Bandung: Mantan Presiden Direktur PT Lippo Cikarang Tbk. Bartholomeus Toto yang menjadi tersangka dalam kasus suap mega proyek Meikarta, melayangkan surat kepada Presiden Jokowi, untuk meminta perlindungan.

Kuasa Hukum Bartholomeus Toto, Supriadi mengatakan, dalam suratnya tersebut Bartholomeus Toto meminta dan memohon perlindungan kepada Jokowi, terkait kesewenang-wenangan KPK yang dialaminya. Toto ditahan KPK sepekan lebih, dan kini diperpanjang hingga 40 hari.

Supriadi juga menambahkan, usai perpanjangan penahanan di KPK, klienya  meminta Ketua KPK 2019-2023 Firli Bahuri untuk tidak mengulang gaya kepemimpinan komisioner jilid IV yang dikomandoi Agus Rahardjo. 

“Toto juga, berharap ke depan kepada pimpinan Pak Firli tak ada lagi rekayasa-rekayasa yang seperti yang alami Toto saat ini,” kata Supriadi dalam keteranganya kepada wartawan Sabtu (7/12/2019).

Saat penahan itu juga, kata Supriadi, Toto mengucapkan banyak terimkasih kepada pihak Polrestabes Bandung. Karena atas laporan,  Edy Dwi Soesianto yang semula statusnya penyelidikan sekarang ditingkatkan menjadi penyidikan.

 “Toto mengucapkan terima kasihnya  sudah memproses laporan. Toto juga mengetuk hati nurani jaksa dan hakim agar menangani kasus  seadil-adilnya dan sebener-benarnya," ujar  Supriadi menirukan ucapan Toto.

Supriadi juga menjelaskan, meminta perlindungan, surat yang dilayangkan kepada Jokowi juga untuk menepis semua tuduhan kepada Bartholomeus Toto, yakni tuduhan telah menyetujui pemberian dana sebesar Rp 10,5 miliar kepada mantan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin untuk memuluskan perizinan proyek Meikarta. Tuduhan itu tanpa bukti hanya berdasarkan  pernyataan Kepala Divisi Land Ackuisition Permit PT Lippo Cikarang, Edy Dwi Soesianto dalam persidangan yang memberikan kesaksian di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Bandung.


Ini Isi Surat Permohonan Keadilan

Adapun surat yang dilayangkan kepada Presiden, adalah menyampaikan fakta, bukti dan petunjuk yang saya miliki. Yaitu, 

1. Selama proses penyidikan Meikarta, ketika status saya sebagai saksi, saya tidak pernah megetahui bahwa saya akan dituduh KPK telah memberikan gratifikasi sebesar Rp 10,5 miliar untuk IPPT.

2. Dalam penyidikan, KPK tidak melakukan klarifikasi kepada saya secara seksama atas dugaan pemberian uang Rp 10,5 miliar untuk gratifiasi IPPT tersebut.

3. Saya baru mendengar tuduhan gratifikasi sebesar Rp 10,5 miliar yang ditujukan kepada saya tersebut dalam sidang Billy Sindoro/ Neneng Hasanah Yasin, dimana Edy Dwi Susieanto (EDS) staf PT Lippo Cikarang, Tbk bersaksi bahwa saya telah menyetujui dan memberikan uang sebesar Rp 10,5 miliar untuk penerbitan IPP Meikarta. Lebih jauh EDS membuat Narasi bahwa uang sebesar Rp 10,5 miliar tersebut diterima secara tunai dari Lippo Karawaci melalui Melda Peni Lestari, Sekretaris direksi PT Lippo Cikarang Tbk, dimasa itu.

4. Melda Peni Lestari dalam sidang telah mebantah pernah memberikan uang tunai Rp 10 miliar kepada EDS. Namun Melda Peni Lestara malah diancam telah bersaksi palsu.

5. Sementara itu secara pribadi dan terpisah EDS menyampaikan beberapa hal sebagai berikut: (ada bukti catatan elektronik percakapan dengan EDS) 
- EDS mengaku ditekan oleh Ardian, penyidik, untuk mengakui bahwa saya telah menyetujui dan memberikan uang gratifikasi RP 10,5 miliar.
- EDS menyatakan bahwa memang benar selama mengurus perizinan untuk PT Lippo Cikarang, Tbk selalu harus memberikan gratifikasi, namun tidak pernah terlibat dan/atau ambil bagian dalam gratifikasi Meikarta yang dilakukan oleh Billy Sindoro, dkk.
- Eds juga menyatakan bahwa sengaja sepakat degan penyidik KPK mengenai pemberian uang RP 10,5 Milyar dengan pertimbangan-pertimbangan sbb:
- Agar suap-suap di masalalu tidak diungkit-ungkit KPK. Yang menurut keterangan EDS, ini juga sejalan dengan perintaan”ibu” (Neneng Hasanah Yasin). 
- Agar suap-suap untuk perizinan diluar Meikarta dimasa lalu yang melibatkan pejabat kantor pusat (Lippo Karawaci) tidak terungkit oleh KPK.
- Baik EDS maupun Satriyadi, tangan kanan EDS, keduanya menyatakan bahwa saya tidak terlibat dalam urusan perizinan PT.Lippo Cikarang Tbk.

6. Dalam rangkaian proses gratifikasi Meikarta, hanya EDS seseorang yang secara lisan tanpa didukung bukti maupun fakta, yang bersaksi bahwa saya terlibat dalam suap Meikarta.

7. Saya sebagai pribadi maupun saat menjabat sebagai Presiden Direktur PT Lippo Cikarang,Tbk tidak memiliki motif, kapasitas, kewenangan, maupun alasan apapun untuk memberikan suap untuk perijinan Meikarta.

8.Atas kesaksian EDS yang mengandung fitnah pada butir 3, keskasian pada butir 4 dan catatan pada butir 5 diatas, saya telah membuat laporan/pengaduan ke Polisi. Dan pihak Kepolisian telah melakukan penyidikan, dan telah menemuka bukti bahwa telah terjadi dugaan tindak pidana fitnah dan pencemaran nama baik, atas tuduhan bahwa saya telah memberikan uang suap sebesar RP. 10,5 miliar untuk IPPT Meikarta memalui surat Nomor B/3479/XI/2019/RESKRIM tanggal 12 November 2019.

Setelah berkarya selama 30 tahun dimana 95% waktu mengabdi dibidang perbankan Lippo Group, setelah mengalami dan menghadapi proses kasus KPK- Meikarta, saya memutuskan untuk mengundurkan diri. Saya tidak dapat memahami atau mau berspekulasi atas motif KPK dalam memaksakan saya dijadikan tersangka dan harus segera ditahan. Namun saya akan berjuang untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan terhadap pihak dan/atau oknum yang memiliki kepentingan, yang mengkondisikan agar saya dijadikan tersangka, ditahan dan sudah diputuskan bersalah.

Besar harapan saya agar permohonan ini dapat dipenuhi, dan kedepan, dengan adanya dewan pengawas KPK, kejadian yang menimpa saya agar tidak menimpa orang lain, dan bahwa pepatah yang mengatakan “hukum di Indonesia tajam kebawah tumpul keatas” adalah tidak benar. Atas perhatian bapak presiden saya haturkan terimakasih. Isi surat seperti itulah yang dilayangkan kepada Presiden Jokowi oleh Bartholomeus Toto.