politik

Oligarki di Tengah Demokrasi, PDIP dan Golkar Kompak Membantah

Oleh: Denisa Tristianty Editor: 10 May 2020 - 11:38 kbrn-pusat

KBRN, Jakarta: Kabinet Indonesia Maju penuh pro dan kontra yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Peneliti Centre for Stategic and International Studies (CSIS), Noory Okhtariza menyoroti praktik oligarki masih ada di dalam Kabinet Indonesia Maju.

Noory mengatakan, masih banyak orang-orang pilihan pemerintah berasal dari suatu kedekatan para pengusaha, bahkan rezim masa lalu yang saat ini memang berada di satu gerbong yang sama.

“Mungkin partai politik bilang, karena kita tidak punya calon yang lain. Justru itu yang harus kita lawan idenya seperti itu. Kenapa? Karena harus konsisten secara konstitusi, secara demokrasi bahwa kita harus menghindari politik politik orang “baik” yang menjerumuskan kita kepada perdebatan yang tidak substansial,” kata Noory dalam diskusi CSIS di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Minggu (8/12/2019).

Menurut Noory, masyarakat harus memberikan ruang ketidakpercayaan. Sebab, dia menilai para calon elite politik baru masih saling berkaitan antara desain desain institusi sebelumnya.

“Kami mengambil studi yang sangat kontemporer, “Why Democracy Die?”, itu ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Mereka studi komparasi di Amerika Latin,” ungkap dia.

Baca juga: Golkar Minta Negara Biayai Partai Politik, CSIS Berikan Syarat

Studi dua ilmuwanasal Universitas Harvard itu, lanjut Noory, terdapat dua pelajaran yang paling penting dapat diambil mengenai desain institusi demokrasi di Indonesia. Dia mengatakan, ada dua faktor pula yang dapat membuat demokrasi di Indonesia mundur, atau bahkan mati.

“Pertama adalah ketidakadaan, atau mereduksi norma demokrasi di tengah masyarakat. Dan yang kedua terpenting bagi saya adalah forbearance, penanganan atau kesabaran elite politik Indonesia, atau politik pada umumnya untuk tidak menggunakan berbagai cara hukum, meskipun memungkinkan yang kira kira dia mampu mematikan demokrasi itu sendiri,” tegas Noory.

Maka dari itu, dua faktor itu dikataknnya dapat menjadi suatu perdebatan yang mesti terus dibahas. Tujuannya, yaitu untuk mengapresiasi sistem presidensial di Indonesia sendiri.

Semenatara terkait oligarki dari banyak perdebatan yang sudah ada, dia mengatakan yang harus diingat betul terkait kesejahteraan rakyat dapat hadir di tengah masyarakat.

“Inti dari demokrasi adalah secara rekontuatif adalah retribusi kekayaan. Jaminan sosial, itu adalah produk reformasi. Sebelumnya, jaminan sosial di zaman Orde Baru sangat sedikit ditanggung oleh negara,” ungkap Noory.

Politisi Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily mengatakan terpilihnya banyak orang dari suatu generasi tokoh politik tertentu tidak melanggar ketentuan hukum di negara ini. Dia mengakui, banyak kader Golkar dari keluarga politisi Golkar terdahulu. Salah satunya yaitu Ketua Umum Partai Golkar 2019-2024, Airlangga Hartarto yang tidak lain pula adalah anak dari mantan Menteri Perindustrian (Orde Baru), Hartarto Sastrosoenarto.

“Apa mereka tidak bisa masuk kualifikasi dari pemilihan yang terjadi? Kan, demokrasi tidak membatasi itu. Mereka juga sudah tidak terkoneksi karena sudah terlalu jauh dari masa mereka politisi senior itu menjabat,” kata Ace.

Hal senada juga dikatakan oleh politisi PDIP, Dwi Ria Latifa. Menurut dia, bukan perkara besar anak-anak politisi senior ikut berkecimpung dalam dunia politik Indonesia saat ini. Latifa juga mempertanyakan terdapat kontra kehadiran politis muda dari darah politisi senior.

Seperti di PDIP, diakuinya juga banyak regenerasi dari keluarga politisi. Paling mentereng dari kehadiran Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Kehadiran Megawati di dalam PDIP dianggapnya bukanlah bagian oligarki lantaran anak dari Bung Karno.

“Tidak mungkin hanya ada aji mumpung. Kalaupun aji mumpung, saya yakin dia bakal terpeleset karena masyarakat sekarang sudah cukup pintar. Mereka tidak mungkin beli kucing dalam karung,” kata Latifa.

Direktur Eksekutif CSIS, Philips J Vermonte mengatakan upaya partai politik guna menghindari oligarki harus melakukan demokratisasi internal. Seperti, sebelum menjalankan kebijakan demokrasi dalam pemerintahan.

“Partai politik harus menerapkan demokratisasi. Misalnya dalam pemilihan ketua umum, partai politik jangan hanya memunculkan satu calon tunggal,” terang Philips.