tanggap-bencana

Waspada, Potensi Longsor Ancam Warga Malang

Oleh: Hanum Oktavia Editor: 10 May 2020 - 11:38 kbrn-pusat

KBRN, Malang: Hujan mulai turun mengguyur Kota Malang. Meski tak terlalu lebat dan bersifat lokal, namun dampaknya mulai terasa dengan   munculnya genangan air dan beberapa lokasi dilaporkan mengalami tanah longsor. Di kota pendidikan, tanah longsor masuk dalam tiga bencana terbesar di Kota Malang selain genangan air dan angin kencang. Ketiga jenis bencana ini dikenal sebagai bencana hidrometereologi.

Analis bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Malang, Mahfuzi mengatakan, meski secara statistik, tren bencana tanah longsor mengalami penurunan, namun nilai kerugian mengalami kenaikan cukup signifikan. ”Di tahun  2017 lalu terdapat 74 kasus tanah longsor,  tahun 2018 turun menjadi 49 kasus, sementara hingga  November 2019 ini tercatat 43 kasus tanah longsor,” katanya, Rabu (11/12/2019).

Namun data ini berbanding terbalik dengan nilai kerugian akibat longsor yang secara signifikan selalu mencapai miliaran rupiah. BPBD Kota Malang mencatat, tahun 2017 lalu kerugian mencapai Rp 1,9 miliar, dan di tahun  2018 naik nyaris dua kali lipat yakni Rp 2,7 miliar. ”Tahun ini per November tercatat Rp 1,6 miliar,” tuturnya.

Memasuki musim hujan, sambung Mahfuzi, mpotensi tanah longsor kian meningkat, khususnya saat puncak musim hujan. Pasalnya, ketika musim hujan, air hujan yang jatuh menyebabkan volume air infiltrasi meningkat tajam. Dampaknya tanah menjadi jenuh air. “Akibatnya, pori-pori tanah mudah hancur dan agregasi tanah menjadi sangat lemah sehingga ketahanan geser tanah menurun. Sedikit saja ada beban dan gaya gravitasi yang menjadi pemicunya, kawasan di bawahnya bisa terkubur,“ ungkap Mahfuzi.

Lebih jauh ia menjelaskan, saat ini kejadian tanah longsor di permukiman jauh lebih mendominasi dibandingkan di lahan kosong. Di kawasan Polehan dan Muharto misalnnya. “Daerah hunian di dataran atau lereng yang lebih tinggi dan curam, kerawanan tanah longsor kian besar. Diperparah lagi dengan beban bangunan padat membuat daya dukung tanah merosot. Sistem drainase limbah domestik yang merembes melalui sela-sela tanah juga kerap membuat pori-pori tanah lepas,” kata dia.

Tanah longsor itu disebabkan banyak faktor, seperti topografi, iklim, perubahan cuaca, kondisi geologi atau hidrologinya dan perbuatan manusia. Pada kasus Polehan dan Muharto secara topografi berada di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) dan juga kawasan padat penduduk. “Bangunan juga menekan tanah secara vertikal, sedangkan air bekas mandi, cuci atau limpasan permukaan akibat hujan juga langsung dan mengalir lewat dalam tanah. Akibatnya tanah tak kuat lagi menyokong, terjadilah longsor,” tegasnya.

Selain di wilayah DAS, kini potensi longsor juga menyebar merata di seluruh kecamatan di Kota Malang. Selain karena kondisi topografi serta geologi lahan di Kota Malang, tingginya intensitas aktivitas manusia juga dituding penyebab terjadinya longsor.

“Dalam data yang dimiliki BPBD, tahun 2019 ini terdapat 10 kasus longsor di Kecamatan Sukun, 6 kasus di Lowokwaru, 5 kasus di Klojen, 11 kasus di Blimbing dan 12 kasus di Kedungkandang. Hal ini penting untuk diperhatikan,” paparnya.

Untuk itu, BPBD mengingatkan warg Kota Malang memperhatikan tanda-tanda alam sebagai indikator tanah akan mengalami longsor, agar selanjutnya bisa mewaspadai dan melaporkan ke BPBD. “Misalnya ada pepohonan atau bangunan yang miring. Lereng tanah retak-retak, munculnya aliran air baru, sedangkan aliran air yang lain mati. Rembesan air semakin deras, dinding rumah retak-retak atau lantainya ambles, adanya suara gemuruh disertai angin dan banyaknya rongga dalam tanah. Jika hal ini terpenuhi segeralah lapor,” tandasnya.