hukum

Revisi UU KPK Diharap Jadi Momen Perubahan Besar

Oleh: Josua Sihombing Editor: 10 May 2020 - 11:37 kbrn-pusat
KBRN, Jakarta: Mantan Komisioner Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Petrus Selestinus mengaharapkan adanya Undang-undang No.19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.30 Tahun 2002 Tentang KPK, pada tanggal 17 September 2019 silam, dapat menjadi momen terhadap Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru, untuk segera melakukan perubahan kinerja secara besar-besaran dilingkup lembaga anti rasuah KPK.

Dalam diskusi publik yang bertajuk "Prospek Pemberantasan Korupsi Pasca Revisi UU KPK", Petrus Selestinus menjelaskan setidaknya terdapat lima kewenangan besar yang tertuang didalam revisi UU KPK tersebut dapat menjadikan KPK sebagai lembaga yang memiliki kekuatan penuh didalam pemberantasan korupsi, namun tetap taat akan asas peraturan perundang-undangan, yang menurutnya selama 15 tahun berdirinya KPK masih memiliki sejumlah kegagalan dalam pemberantasan korupsi.

"Revisi UU KPK kali ini harus dijadikan momentum bagi Firli dkk (Pimpinan baru KPK), untuk membuat KPK tampil lebih digdaya dan taat asas. Keinginan agar KPK tampil lebih didgdaya dan taat asas, dimaksudkan agar KPK rezim (kepemimpinan) Firli dkk, mampu mengefektifkan dan mengefisienkan tugas pemberantasan korupsi di Kepolisian dan Kejaksaan yang selama 15 tahun usia KPK gagal diwujudkan. Padahal UU KPK memberikan lima tugas dan kewenangan besar yaitu; Koordinasi, Supervisi, Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan, Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, dan Monitor yang selama ini masih gagal diimplementasikan," ujar Petrus Selestinus dalam paparan diskusi, yang digelar dikawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2019).

Kendati demikian, sebagai salah satu advokat senior tersebut menjelaskan meski adanya lima tugas kewenangan KPK yang selama ini dinilai kurang terlaksana dengan baik, namun Petrus Selestinus menilai tugas kewenangan KPK didalam memberantas dan mencegah terjadinya korupsi yang cukup menonjol yakni hanya berada pada bidang tugas penindakan dari KPK.

Petrus membeberkan, adanya tugas kewenangan KPK yang dinilai kurang terlaksana dengan baik tersebut dikarenakan masih banyaknya kasus-kasus besar korupsi yang belum terselesaikan dan tidak dilakukan pengambilan alih kasus dari berbagai instansi-instansi lainnya.

"Dari lima tugas besar ini, yang menonjol dilaksanakan adalah hanya bidang penindakan yaitu Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan. Sedangkan empat bidang tugas lainnya nyaris tak terdengar. Tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan itu-pun gagal dilaksanakan, karena banyak kasus besar mangkrak, belum lagi kasus-kasus besar yang mangkrak di Kepolisian dan Kejaksaan yang juga menjadi wewenang KPK untuk mengambil alih tetapi kenyataannya tidak pernah dilakukan," tambahnya lagi.

Lebih lanjut, Petrus Selestinus menilai kegagalan lainnya didalam pelaksanaan tugas dan kewajiban KPK saat masa kepemimpinan sebelumnya yakni terdapat pada koordinasi, supervisi dan monitoring yang tertuang dalam UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK yang dinilai Petrus, berdampak pada hilangnya kewenangan besar KPK dalam memberantas korupsi.

"KPK (juga) gagal melaksanakan tugasnya, karena tidak semua tugas, wewenang dan kekuasaan besar. Contoh kewenangan (koordinasi dan supervisi) itu memungkinkan KPK mengambilalih penyidikan atau penuntutan dari Polri atau Kejaksaan, namun KPK tidak pernah lakukan itu. Padahal berdasarkan ketentuan pasal 14 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK, Tugas Monitor, yaitu melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan adminisrasi di semua lembaga negara dan pemerintahan dan memberi saran untuk melakukan perubahan sistem jika sistem yang ada berpotensi korupsi, namun fungsi inipun tak terdengar,"  jelas Petrus Selestinus kembali.

Dengan tidak dijalankannya secara penuh tugas dan kewenangan KPK tersebut, Mantan Komisioner Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) Petrus Selestinus menganggap bahwa KPK telah terjebak dalam tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan dan mengakibatkan hilangnya kekuasaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

"KPK justru terjebak dalam tindakan--tindakan konvensional yang sama yang selama ini terjadi atau dikhawatirkan terjadi pada Polri dan Kejaksaan, sehingga KPK kehilangan soperbody-nya, menjadi loyo dan gagal mengeksekusi kekuasaan yang digdaya itu." tutup Petrus Selestinus.