info-publik

Festival Pamalayu Upaya Patahkan Penaklukan Jawa atas Sumatera

Oleh: Budi Prihantoro Editor: Nugroho 10 May 2020 - 11:37 kbrn-pusat

KBRN, Jakarta : Jakarta, Ibukota Indonesia punya banyak cerita. Salah satu cerita yang bisa ditemui di kota ini adalah kisah tentang bangsa Samudera di Museum Nasional, sebuah museum yang menyimpan sejarah panjang bangsa ini

Banyak orang salah mengira Museum Nasional sama dengan Museum Monumen Nasional. Meski  terletak di area yang berdekatan, kedua bangunan ini berbeda letaknya. 

Jika Museum Monumen Nasional ada kompleks tugu Monas, Museum Nasional terletak di Jalan Merdeka Barat nomor 12. Karena ada patung gajah di pekarangan depan museum, rakyat Jakarta menyebut gedung ini dengan Museum Gajah.

Masuk ke Museum Gajah, perhatian pengunjung biasanya langsung tertuju kepada si raja arca dari tepian hulu Batanghari.

Menjelang tutup tahun 2019,  dipimpin Bupati Dharmasraya, Sutan Riska Tuanku Kerajaan, rakyat dari kelarasan Batanghari datang ke Museum Gajah, menengok si raja arca dan amogapasha. 

“Kita mengangkat juga meluruskan sejarah tentang ekspedisi pamalayu Darmasraya dengan Singosari,” kata Sutan Riska Tuangku Kerajaan yang menyebut kedatangan mereka itu dalam rangka perayaan yang mereka sebut sebagai Festival Pamalayu.

Menurut Bambang Budi Utomo yang sudah 39 tahun terakhir melakukan penelitian di reruntuhan Kerajaan Dharmasraya "Dharmasraya itu sebetulnya bermula dari pemukiman sederhana. Entah dua atau tiga rumah di pinggir sungai. Nah lama lama karena aktivitas perdagangan bertambah maju."

Arkeolog senior dari  Pusat Penelitian Arkeologi Nasional ini menyebut, "Perdagangan hasil bumi dan tambang menjadikan Dharmasraya pada masa lalu punya hubungan dengan luar sehingga terbentuklah sebuah kota. Entah pada tahun berapa namun bukti yang ada pada abad ke 10."

Di antara reruntuhan Kerajaan Dharmasraya pada 1935 ilmuwan kolonial mendapati Bhairawa. Karena paling besar, ia dijuluki raja arca Museum Nasional ini.

"Ada dua bukti keberadaan kerajaan Dharmasraya yakni Bhairawa dengan ini (sambil menunjuk prasasti Amogapasha,red).Amogapasha dibawa langsung dari Singosari ke Dharmasraya," kata Bambang ditemui Radio Republik Indonesia di Museum Nasional pada Medio Agustus 2019.

Di Dharmasraya ada empat keturunan raja. 

"Saya dan beliau (Sutan Riska Tuanku Kerajaan , Bupati Dharmasraya,red) bersama yang lainnya datang ke Jakarta untuk 'menjemput' sesuatu yang hilang akan mencari sesuatu yang hilang dan menyambung sesuatu yang terputus," ujar Abdul Haris Tuanku Sati salah satu keturunan raja di Dharmasraya.

Bersama para tokoh masyarakat lain di Dharmasraya salah satunya Abdul Haris yang juga menjadi Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kabupaten Dharmasraya mendatangi Museum Nasional dalam rangka perayaan yang mereka sebut Festival Pamalayu.

Dipimpin sang Bupati, mereka mendapati Bhairawa dan Amogapasha yang dibawa dari daerah mereka  dan di simpan Museum Nasional . 

"Kita, pemerintah daerah, melalui para sejarawan dan para tokoh adat disana mengangkat dan juga meluruskan sejarah tentang ekspedisi Pamalayu. Antara Dharmasraya dengan Singosari dari jaman dahulu sudah membuat suatu persatuan yang luar biasa tanpa ada pesawat tanpa ada mobil sudah menyatukan salah satunya adalah keberadaan Amogapasha," ujar Bupati Sutan Riska Tuanku Kerajaan.

Jauh sebelumnya, pada sebuah masa, nun jauh di kalampauan, ilmuwan-ilmuwan kolonial Belanda ke pangkal pusek tanah Sumatera. Menjejaki tapak tua Suwarnabhumi, menyilau reruntuhan Kerajaan Dharmasraya. Pada 1880 mereka mendapati Amoghapassa di Lubuak Bulang. 

Menurut Bambang Budi Utomo, "Ekspedisi pada abad ke-13, atau 22 Agustus 1286 oleh Kerajaan Singasari adalah  untuk menjalin persahabatan dengan Malayu-Dharmasraya di bawah pemerintahan Raja Kertanegara. Ekspedisi tersebut sebagai bentuk bala bantuan untuk mencegah invasi Kekaisaran Mongol yang dipimpin Kubilai Khan bukan untuk penaklukan Jawa atas Sumatera."

Dalam ekspedisi Pamalayu itu menurut penelitian yang dilakukan para arkeolog salah satunya Bambang Budi, membawa dua puteri Melayu yakni Dara Petak dan Dara Jingga ke Singosari. 

"Mungkin salah satu dari dua puteri ini dikawin oleh Raden Wijaya dan punya anak Adityawarman," kata Bambang Budi, "Ceritanya Adityawarman pulang kampung dan membangun kampung halamannya itu."

Dharmasraya di Sumatera Barat memang berjaya pada masa sungai-sungai adalah jalan raya dan lautan gelanggangnya. Kemilau Suwarnabhumi semasa nenek moyang bangsa Indonesia masih menjadi bangsa pelaut.  

"Begitulah bukti sejarah. Maka mulai kini, narasi Ekspedisi Pamalayu versi Jawa menaklukkan Sumatera tidak usah direproduksi," ujar pegiat sejarah dari Perkumpulan Wangsamudra Wenri Wanhar.

"Sangat penting untuk kondisi saat ini dimana saat ini orang gampang marah dan tersinggung. Apalagi berkaitan dengan NKRI. Nah kalau Ekspedisi Pamalayu dianggap ekspedisi penaklukan Singosari atas Melayu sangat riskan. Tidak boleh begitu, orang Dharmasraya bisa marah," tambah Bambang Budi Utomo.

Oleh pemerintah setempat, peringatan Ekspedisi Pamalayu dijadikan sebuah Festival yang selain meluruskan sejarah juga untuk mengundang banyak turis datang.

Seperti terlihat pada siang itu. Matahari yang sudah meninggi, awan mendung yang menggelayut membuat sang Surya memang tidak bisa 'melihat' masyarakat desa di Lubuk Larangan di Kampung Surau, Nagari Gunung Selasih memanen 'ikan larangan'.

Namun sejumlah perempuan nampak menumbuk padi Antan Bagonto mendendangkan pantun bersuka cita mengiringi panen ikan larangan di Kampung Surau. 

"Saat ini  waktu yang tepat untuk membuka  Lubuk Larangan", kata Zul Effendy tetua kampung pada akhir bulan Oktober 2019.

Di Kampung Surau ada tujuh suku yang ketika panen ikan larangan, kaum perempuan membawa wajan kayu api dan bumbu masak. Setelah kaum pria mendapatkan ikan mereka memasak sebanyak tujuh kelompok dan makan bersama-sama.

"Adanya lubuk larangan yang dimulai tahun 2004 ini juga untuk melestarikan lingkungan terutama  untuk melestarikan ikan sehingga masyarakat sini yang sepertiganya mencari ikan selalu  dapat ikan banyak setiap waktu," kata Zul.

Ikan larangan merupakan ikan yang dilarang untuk ditangkap dan dikonsumsi kecuali pada waktu-waktu yang sudah ditentukan. Ikan-ikan tersebut baru bisa dipanen setiap satu tahun sekali. Menurut kepercayaan, barang siapa melanggar akan mendapat sanksi sesuai hukum adat.

"Kita berterima kasih kepada warga dan para tokoh adat karena mereka punya komitmen untuk menjaga lingkungan dengan mencegah sungai dari pencemaran lewat tradisi Lubuk Larangan. Ini menjadi modal bagi kita karena masyarakat bisa diajak untuk menjaga lingkungan," ujar Bupati Sutan Riska. 

Selain panen ikan larangan, Karnaval Arung Pamalayu di Sungai Batanghari, wisata kuliner dan pagelaran budaya menjadi rangkaian Festival Pamalayu yang berlangsung sejak 22 Agustus 2019 hingga 7 Januari 2020 bertepatan dengan hari ulang tahun ke 16 Kabupaten Dhramasraya.