info-publik

Pengamat Nilai Perlu Mengkaji Kasus Hukum dan Kepeduliaan Anggota DPR

Oleh: syariful alam Editor: Heri Firmansyah 10 May 2020 - 11:36 kbrn-pusat

KBRN, Jakarta : Rohadi terus berjuang menuntut keadilan. Itulah sinyal yang dapat kita tangkap dari apa yang dilakukan terpidana kasus suap pedangdut Saipul Jamil itu beberapa waktu belakangan ini. Terutama ketika dia mendesak para anggota DPR RI dari Komisi III untuk segera memanggilnya, agar dia dapat membongkar begitu banyaknya praktek-praktek mafia hukum di lembaga-lembaga peradilan kita.

Kini, meskipun sudah mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) kasusnya ke Mahkamah Agung (MA), serta berkirim surat kepada Presiden dan DPR RI, Rohadi tampaknya masih penasaran. Dia sudah tidak sabar untuk segera mengetahui: Apakah segala upaya yang ditempuhnya selama ini akan berujung pada keadilan yang dia harapkan atau justru menghadapi jalan buntu? Artinya, apakah permohonan PK-nya akan dijawab oleh majelis hakim di MA dengan suatu keputusan yang menggembirakan? Atau, mungkinkah Presiden Jokowi akan menaruh perhatian khusus terhadap kasus seperti ini, sebagaimana Rohadi sampaikan dalam suratnya kepada kepala negara? Begitu juga DPR RI. Apakah dalam waktu dekat ini Komisi III DPR akan memanggilnya, untuk didengar kesaksiannya dalam kasus suap itu?

Memburu keadilan hukum memang bukanlah hal yang mudah. Sepertinya semakin diburu semakin jauh larinya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dan ketabahan tiada tara. Situasi yang seperti itulah tampaknya yang dialami Rohadi hari-hari ini. Setelah tiga tahun lebih terkungkung di balik tembok Lapas Kelas 1 Sukamiskin Bandung, kini dia merasa semakin tidak dipedulikan orang. Tuntutannya agar dia mendapatkan keadilan hukum juga seperti tidak ada yang mendengarkan.

Karena itu, dalam banyak kesempatan bicara dengan awak media, dia selalu melontarkan tuntutan agar DPR RI segera memanggilnya. Agar dia dapat membeberkan apa yang dia alami sebagai pesakitan yang tidak mendapatkan keadilan secara hukum. Karena dirinya yang sama sekali tidak menikmati uang haram itu harus mendekam di balik terali besi selama 7 tahun. Sementara sejumlah pihak lain yang ikut terlibat dan telah menikmati uang haram itu justru tidak tersentuh hukum.

“Saya minta para anggota dewan memanggil saya. Jangan ongkang-ongkang kaki saja dengan gaji besar. Sementara rakyat kecil mengeluh minta keadilan dibiarkan saja. Saya minta keadilan dan saya berharap para anggota dewan yang terhormat menunjukkan kepeduliannya terhadap nasib anak bangsa seperti saya,” katanya berulang kali, ketika berjumpa dengan awak media.

Hemat kita, memang sewajarnya Rohadi bicara seperti itu. Sebagai orang yang dikerangkeng di balik jeruji besi, tentu dia merasakan bahwa perjalanan waktu terasa begitu lambat. Penantian satu hari akan dirasakan seperti sudah bertahun-tahun. Apalagi dia melihat bahwa penegakan hukum itu nyata-nyata tebang pilih. Bahwa pameo “hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas” itu terbukti terang benderang dalam kasus yang dia hadapi.

Menurut Rohadi, surat yang dia layangkan kepada DPR RI itu bertanggal 23 Mei 2019. Tapi dia baru mendapatkan balasan tanggal 19 September 2019. Dalam surat balasan itu dijelaskan bahwa pengaduannya telah diterima dan telah diserahkan kepada pimpinan Komisi III DPR RI untuk ditindaklanjuti. Persoalannya, kata Rohadi, “Kenapa tindak lanjut dari anggota dewan itu masih belum ada tanda-tandanya akan terjadi sampai sekarang, sampai sudah mendekati hari-hari terakhir tahun 2019?” Padahal, mantan Panitera PN Jakarta Utara ini sudah mempersiapkan segala fakta yang akan dia beberkan bila dapat kesempatan bicara di depan para anggota dewan yang terhormat.

Untuk menunjukkan bukti-bukti bahwa ada rekayasa dalam kasus itu. Agar dia bisa dijadikan tumbal sendirian. Supaya beberapa orang tertentu yang hendak dilindungi akan tetap tidak tersentuh hukum. Menurut Rohadi, bukti-bukti yang telah dia siapkan akan dapat mengungkap fakta lain, terkait siapa-siapa saja yang semestinya juga diseret ke pengadilan, karena ikut terlibat menikmati uang haram dari kasus itu.

Rohadi berharap segala fakta hukum lain yang selama ini dianggapnya terabaikan, sudah seharusnya dibuka dan ditelaah kembali oleh Ketua atau Penyidik KPK. Tapi karena sejauh ini tidak tampak ada kemauan jajaran KPK untuk menindaklanjutinya, maka dia ingin “buka-bukaan” di depan Komisi III DPR. Karenanya dia sangat berharap agar DPR dapat mendorong dibukanya kasus ini secara terang benderang. Apalagi Rohadi telah mendapatkan jaminan dari Wakil Ketua MPR Arsul Sani, ketika bicara dengan kuasa hukum Rohadi dari Yanto Irianto SH & Partners beberapa hari lalu, bahwa dia akan ikut mendorong DPR untuk memperhatikan kasus ini.

Agar persoalan keadilan hukum yang dialami Rohadi ini dapat diatasi dan tidak menimpa Rohadi-Rohadi lain sesudah ini. Beberapa Fakta Bicara tentang kasus yang melilit Rohadi ini, tentu kita ingin membahas kesaksiannya tentang banyak hal yang tak terungkap di pengadilan. Hal-hal yang semestinya dapat membuka kasus ini secara terang benderang dan memperlihatkan siapa-siapa saja yang terlibat dan patut mendapatkan ganjaran hukum seperti dirinya. Di antaranya, seperti berulang kali dia kemukakan, adalah desakannya agar penyidik KPK membuka HP miliknya yang sudah disita KPK. Di dalamnya ada bukti percakapan antara dirinya dengan Hakim Dasma, menyangkut jumlah uang suap yang akan diserahkan untuk Hakim Ifa Sudewi yang merupakan ketua majelis hakim perkara Saipul Jamil. Di dalam HP itu juga ada bukti pembicaraan tentang vonis yang akan dijatuhkan kepada terdakwa Saipul Jamil terkait uang suap yang akan diberikannya.

“Saya minta HP itu dibuka. Tapi kenapa tidak dibuka?” begitu berulang kali Rohadi mempertanyakan. Begitu juga desakan Rohadi agar KPK membuka CCTV yang ada di ruang kunjungan KPK Gedung Lama C1 dan aula KPK saat kunjungan Hari Raya Idul Fitri 2016. Soal ini, dia ingin menjelaskan bahwa hari itu dia dikunjungi oleh Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Jawa Barat, Karel Tuppu SH., yang tidak lain adalah suami dari pengacara Saipul Jamil, Bertha Natalia Ruruk Kariman SH. Yang meminta Rohadi agar tidak menyeret nama-nama hakim yang lain dalam kasus itu. Dengan kata lain cukup sampai pada dirinya saja.

Persoalan ini jadi tambah menarik, bagaimana terpidana 7 tahun kasus suap Saipul Jamil itu bersedia menuruti permintaan Karel Tuppu. Sehingga dia harus berbohong dalam sidang-sidang awal perkara yang memberikan ancaman hukuman yang tidak ringan kepadanya.

Meskipun kesaksian bohongnya itu kemudian hari dia tarik kembali. Dalam hal ini, kita mencatat, Rohadi pernah beberapa kali mengungkapkan bahwa sebagai bawahan di PN Jakarta Utara, dia dan para karyawan lainnya punya ewuh pakewuh terhadap para atasan mereka. Artinya ada rasa sungkan untuk menolak apa yang dikemukakan oleh orang-orang yang mereka anggap atasan di kantor pengadilan itu. Terutama para hakim yang memang memiliki wewenang yang besar di masing-masing kantor pengadilan. Dan sebagai anak buah, sebagaimana pernah diungkapkan Rohadi, mereka biasa jadi ujung tombak untuk mengurus segala urusan, termasuk untuk “menjalin hubungan” dengan mereka yang berperkara. Suatu kondisi yang membuat praktek suap menyuap itu tidak bisa dihindari. Dengan adanya pesakitan yang ingin mendapatkan keringanan hukuman dan para hakim pemilik palu hukum yang akan menentukan berat ringannya vonis yang akan dijatuhkan. Di situlah berlaku kesepakatan jahat yang diukur dengan persyaratan “wani piro”.

Berangkat dari apa yang diceritakan Rohadi dalam banyak kesempatan bicara dengan wartawan, tentu kita dapat mencatat, sejatinya semua itu dapat membuka mata dan hati semua orang. Bahwa begitulah silang sengkarut praktek-praktek mafia hukum yang terjadi di lembaga-lembaga peradilan di negeri ini, yang semestinya dapat menarik perhatian para anggota dewan. Sehingga mereka termotivasi untuk menguak kasus ini secara transparan dan menyapu bersih segala bentuk praktek-praktek kotor yang selama ini mencederai upaya penegakan hukum yang berkeadilan.

Rohadi sendiri sebenarnya bukan hanya bicara begitu banyak dengan kalangan wartawan, untuk membeberkan fakta-fakta yang ada dalam perkara yang menjeratnya. Tapi dia sendiri juga menuliskan secara rinci persoalan hukum yang melilit dirinya itu, dalam buku yang berjudul “Menguak Praktek Mafia Hukum Di Balik Vonis Pedangdut Saipul Jamil”.

Terakhir, kita juga mencatat kata-kata Rohadi, bahwa: “Ada begitu banyak fakta lain yang bisa saya ungkapkan di depan para anggota dewan yang terhormat, sebagai bentuk penyesalan atas apa yang telah saya perbuat dan upaya saya untuk membongkar praktek-praktek mafia hukum yang terjadi di negeri ini. Sehingga penegakan hukum yang berkeadilan itu bisa ditegakkan sebagaimana diharapkan semua orang.

Oleh : Almukhlish Beddien - Pengamat                  Dinamika Hukum dan Politik