info-publik

Pakar Ekonomi : Omnibuslaw Tidak Harus Dilakukan

Oleh: Vinta Editor: Afrizal Aziz 10 May 2020 - 11:32 kbrn-pusat
KBRN, Jakarta: Obral diskon pajak dalam konsep Omnibus Law saat ini mengaitkan dengan hutang negara. Walaupun saat ini draf tersebut sudah ditangani oleh DPR lalu dibahas oleh pemerintah sebelum disahkan sebagai undang-undang. Namun dampaknya akan sangat dirasakan pada penerima pajak.  
  
Lalu dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakkan dan Penguatan Perekonomian atau yang dikenal dengan omnibus law, akan dipangkas secara bertahap dari saat ini 25% menjadi 22% dari tahun 2021 sampai tahun2022 dan akan turun kembali pada tahun 2023.

Menurut Pakar Ekonomi Indef, Bima Yudistira  mengatakan dampak obral pajak dengan hutang negara ini tidak banyak membawa pengaruh untuk kedepannya. 

Implikasinya memang yang pertama ada pada penerima pajak, karena dalam konsep omnibuslaw yang diterima DPR terdapat beberapa insentif pajak atau pengurangan pajak yang dilakukan secara bertahap.

Contohnya adalah pph badan, jadi pph badan akan diturunkan menjadi kurang lebih 20% secara bertahap dalam 3 tahun kedepan.

"Dengan penurunan pph badan yang cukup signifikan akan berpengaruh terhadap seluruh penerima perpajakan," kata Bima kepada RRI, Senin (17/02/2020).  

Padahal yang diketahui bahwa rasio pajak sendiri mengalami penurunan pajak yang tajam pada 2019 kemarin. Dan bisa dikatakan paling rendah dari 50 tahun terakhir.

Jadi menurut Bima ini merupakan salah satu yang dikhawatirkan dari omnibuslaw ini. Walaupun bertujuan untuk melalukan intensif atau memuluskan dalam dunia usaha tetapi ternyata ada resiko jangka pendeknya yakni adanya kehilangan penerima pajak yang jumlahnya relatif besar, mencapai angka 500 sampai 600 triliun rupiah 3 sampai 4 tahun kedepan.

"hal ini bisa terjadi karena ketika pengusaha diberikan penurunan pph dalam kondisi ini serba sulit, jadi pajaknya ada insentif tapi disisi lain pengusaha mempunyai tantangan eksternalnya besar, jadi pemerintahlah yang mesti memikirkan secara bijak," jelas Bima.

Bima sendiri menganggap penurunan pph badan ini tidak harus dilakukan, karena seharusnya yang dilakukan lebih pada selektifitas sektor mana yang harus lebih di dorong lagi unutk mejadi motor pertumbuhan ekonomi. 

Misalkan Ia lebih sepakat mendukung pada sektor yang bereontasi pada ekspor-impor, UMKM yang seharusnya pajaknya 0% , biaya keluar yang kecil, bahan baku dibantu, jadi ini bisa mendorong pada orientasi ekspor devisa naik, devisit transaksi berjalan turun dan imbas pada perekonomian lebih berkualitas.

Namun jika pph badan yang diturunkan diberikan kepada semua perusahaan, apalagi yang kena adalah perusahaan di sektor biasa maka disayangkan. 

"Langkah selanjutnya yang diharapkan harus ada banyak perdebatan mengenai masukkan bukan hanya dari pengusaha besar tetapi pelaku usaha UMKM, mengawasi dampak dan diadakan transparansi perhitungan pajak yang diberikan," pungkas Bima. (Foto:istimewa)