KBRN, Mentawai : Indonesia memiliki banyak keindahan alam yang memukau, salah satunya adalah Kepulauan Mentawai di Provinsi Sumatera Barat, yang secara geografis terletak di Pesisir Barat Pulau Sumatra, ditengah Samudera Hindia dan terdiri dari 4 pulau besar yaitu Pulau Sipora, Siberut, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Dikenal luas dengan julukan Bumi Sikerei, yang berjarak 150 Km dari lepas pantai Sumatera .
Kepulauan ini merupakan gugusan pulau yang tak lain adalah puncak puncak dari punggung pegunungan di bawah laut. sehingga selain menawarkan beragam keindahan serta pesona yang menakjubkan sebagai primadona destinasi wisata bagi wisatawan mancanegara dan domestik , Mentawai dan gempa bumi bagai satu hal yang sulit dipisahkan.
Catatan kolonial menunjukan gempa besar pernah terjadi di Mentawai 10 Februai 1797 yang di ikuti Tsunami di sebabkan oleh Patahan Megathrust Mentawai. Tak ada keterangan lebih lanjut tentang korban jiwa saat itu karena siklus gempa dan Tsunami belum menjadi ancaman pada masa itu. Masyarakat Mentawai masih tinggal di pedalaman yang berada di pebukitan yang aman dari sapuan Tsunami.
Kabid Kebudayaan Mentawai Laurentius kepada RRI, Senin (17/02/2020), mengatakan, masyarakat Mentawai sejak jaman dahulu melalui kearifan lokal telah di ajarkan secara turun temurun mengenai tanda – tanda alam ketika gempa akan terjadi, salah satunya melalui nyanyian Teteu Amusiat Loga. Nyanyian ini sarat makna, gempa bumi di ibarat sebagai seorang kakek (teteu) dan gempa bumi disebut amusiat loga.
“Lagu ini menggambarkan jika sang kakek gempa bumi marah maka dia akan menggoyangkan bumi. Lirik lagu ini bercerita tanda-tanda ketika gempa akan terjadi, dan dalam lagu ini juga menggambarkan kehati-hatian, yang diajarkan turun temurun kepada anak cucu, jadi gempa bukan suatu hal yang harus ditakuti,” jelasnya.
Seiring waktu berjalan sambung Laurentius, Mentawai tumbuh menjadi kota Pesisir. Masyarakat mulai mendiami pesisir pantai sejalan dengan arah geliat perekonomian dan pariwisata.
Para pendatangpun berbaur dengan masyarakat lokal. Sehingga jika di bandingkan beberapa abad lalu resiko gempa dan tsunami di pulau Mentawai jelas berlipat. Bahkan dalam kurung 10 tahun terakhir aktivitas gempa sering menunjukan eksistensinya di pulau ini.25 Oktober 2010, gempa selama 30 detik berkekuatan 7,2 magnitudo, menimbulkan tsunami dengan keringgian 1-15 meter menewaskan 400 korban jiwa, dan 15 ribu orang harus mengungsi.
Kepala BPBD Mentawai, Noviardi, menuturkan, hidup di daerah rawan gempa membuat masyarakat Mentawai harus selalu siap siaga menyambut kedatangan Sang Teteu Amusiat Loga, edukasi sederhana dengan membaca tanda tanda alam masih di lakukan oleh para tetua kepada anak anak mereka sebagai mitagasi bencana sedari dini.
"Kalau penduduk asli Mentawai masih diturunkan dari Sikerei - Sikerei kepada anak cucu mereka. Biasanya mereka punya dua rumah. di pesisir dan diperladangan di atas bukit, jadi ketika terjadi gempa, banjir besar mereka sudah secara, mandiri langsung mengungsi kehunian mereka yang berada di perbukitan,” sebutnya.
Jika kita mengunjungi Tua Pejat, ibukota Kabupaten Mentawai ulas Noviardi, jalur evakuasi bisa terlihat sejak menginjakan kaki di dermaga kedatangan. Papan penunjukpun akan mudah ditemui di sepanjang jalan. Masyarakat sepertinya sudah paham apa yang harus mereka lakukan, dan gempa bukan sesuatu yang harus ditakuti kembali Noviardi menjelaskan
"Kita dorong masyarakat membuat jalur- jalur evakuasi di dusun dan desa., karena rata rata pemukiman berada di pinggir pantai. selain itu tempat dan jalur evakuasi juga dekat dengan pemukiman. jadi secara mandiri tiap dusun sudah punya jalur itu,” ungkapnya.
Hal senada juga di amini oleh, Nelson salah satu masyarakat Tua Pejat yang tengah menjajakan makanan di depan dermaga.
"Iya sering gempa, tapi kami sudah di beri tahu kalau gempa lari ke bukit atas sana. Itu ada papan arahnya," tutur Nelson sambil menunjukan papan jalur evakuasi di seberang jalan.
Meskipun masyarakat berusaha " berdamai" dengan gempa bumi dalam skala kecil dan sedang yang sering melanda, namun sambung Nelson, ancaman gempa dan Tsunami besar di kawasan Mentawai dan sekitarnya di prediksi akan terjadi.. Para ahli menyebutnya dengan Megatrust, berupa akibat benturan Lempeng Indo_Australia dibawah Lempeng Eurosia yang terus bergerak dengan kecepatan rata-rata 5,7 cm per tahun.
Gempa besar ini bisa terjadi kapan pun dan dimana pun. Mencari tahu potensi dan penyebab tsunami di Mentawai bisa membantu menentukan langkah tepat mitigasi bencana. Alam dan masyarakat Mentawai merupakan satu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan.
Sejalan dengan ajaran Arat Sabulungan, mereka percaya bahwa alam memiliki roh yang di kuasai kekuatan yang Maha Besar, yaitu Sang Pencipta. Memahami tanda tanda alam, edukasi tentang kebencanaan dan mitigasi sedari dini merupakan salah satu cara masyarakat Mentawai bertahan dengan gempa di Bumi Sikerei. (Foto : Istimewa)