KBRN, Jakarta : Presiden petahana Ashraf Ghani kembali terpilih menjadi presiden Afghanistan. Komisi Pemilihan Independen (IEC) pada Selasa kemarin mengumumkan Ghani mengumpulkan 50,64 persen suara pada 28 September tahun lalu, mengalahkan rivalnya yang juga Ketua Eksekutif Afghanistan, Abdullah Abdullah yang memperoleh 39,52 persen suara.
Ghani pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden pada 2009 dan meraih hampir seperempat suara. Kemudian ia mengikuti pemilu pada tahun 2014.
Meski kalah dalam pemungutan suara, Abdullah tak menerima hasil pemilihan umum tersebut. Ia berjanji akan membentuk pemerintahannya sendiri.
"Tim kami, berdasarkan suara bersih dan biometrik adalah pemenang, kami pemenangnya. Mereka adalah para penipu dan kami mengumumkan pemerintah inklusif kami," tegas Abdullah di ibukota Kabul, seperti dilansir aljazeera, Rabu (19/2/2020).
Dalam pemilihan pada September 2019 lalu yang diadakan di tengah ancaman Taliban untuk mengganggu proses pemilihan, terjadi ketidakberesan hampir satu juta dari 2,7 juta suara awal pemilihan. Pada akhirnya hanya 1,8 juta suara dihitung, ini merupakan jumlah kecil mengingat perkiraan populasi Afghanistan sebesar 35 juta jiwa dan total 9,6 juta pemilih yang terdaftar.
"Tingkat partisipasi yang rendah sebagian karena ketidakamanan di beberapa bagian Afghanistan yang membuat banyak warga tidak bisa keluar untuk memilih calon mereka, tetapi banyak yang berkaitan dengan fakta bahwa rakyat Afghanisatn memiliki kehilangan harapan dan proses pemilihan," kata analis politik Habib Wardak.
Menurut Habib dalam proses pemilihan di Afghanistan tindak pidana korupsi, penempatan surat suara dan kecurangan masih terjadi.
"Ini telah menjadi kenyataan dalam proses pemilhan di Afghanistan," terangnya. (foto: Tom Brenner/Reuters)
Ghani pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden pada 2009 dan meraih hampir seperempat suara. Kemudian ia mengikuti pemilu pada tahun 2014.
Meski kalah dalam pemungutan suara, Abdullah tak menerima hasil pemilihan umum tersebut. Ia berjanji akan membentuk pemerintahannya sendiri.
"Tim kami, berdasarkan suara bersih dan biometrik adalah pemenang, kami pemenangnya. Mereka adalah para penipu dan kami mengumumkan pemerintah inklusif kami," tegas Abdullah di ibukota Kabul, seperti dilansir aljazeera, Rabu (19/2/2020).
Dalam pemilihan pada September 2019 lalu yang diadakan di tengah ancaman Taliban untuk mengganggu proses pemilihan, terjadi ketidakberesan hampir satu juta dari 2,7 juta suara awal pemilihan. Pada akhirnya hanya 1,8 juta suara dihitung, ini merupakan jumlah kecil mengingat perkiraan populasi Afghanistan sebesar 35 juta jiwa dan total 9,6 juta pemilih yang terdaftar.
"Tingkat partisipasi yang rendah sebagian karena ketidakamanan di beberapa bagian Afghanistan yang membuat banyak warga tidak bisa keluar untuk memilih calon mereka, tetapi banyak yang berkaitan dengan fakta bahwa rakyat Afghanisatn memiliki kehilangan harapan dan proses pemilihan," kata analis politik Habib Wardak.
Menurut Habib dalam proses pemilihan di Afghanistan tindak pidana korupsi, penempatan surat suara dan kecurangan masih terjadi.
"Ini telah menjadi kenyataan dalam proses pemilhan di Afghanistan," terangnya. (foto: Tom Brenner/Reuters)