info-publik

Mengalahkan Diri Sendiri Menuju Kemenangan

Oleh: Dias Damayasa Editor: Nugroho 10 May 2020 - 11:31 kbrn-pusat

Hidup adalah rangkaian perjuangan. Hampir setiap orang tidak membantah ungkapan tersebut, hanya saja ketika muncul pertanyaan, apa yang sedang diperjuangkan dalam hidup? Akan ada banyak jawaban dari pertanyaan tersebut seiring banyaknya kepentingan, harapan dan cita-cita yang ingin diwujudkan, yang masih berkaitan dengan kenikmatan duniawi semata.

Dalam ajaran Agama Hindu, tujuan hidup adalah mewujudkan kebahagiaan bagi semua makhluk & keharmonisan bagi alam semesta (jagadhita) serta mencapai pembebasan dari roda Samsara (Moksha), “Mokshartam Jagadhitaya ca iti Dharma”. Untuk mewujudkan tujuan hidup tersebut pasti didahului dengan perjuangan atau pertempuran. Kemenangan dari perjuangan tersebut  oleh masyarakat Hindu di Bali, dirayakan dengan Hari raya Galungan. Kata Galungan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti Menang, kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (kejahatan). Sesungguhnya dalam pertempuran abadi itu, yang paling sulit dikalahkan adalah musuh yang bersemayam di hati, yang dalam Kekawin Ramayana Sargah 1 dikatakan, “Ragadi musuh maparo ri hati ya tongwania tan madoh ring awak”. Musuh-musuh yang bersemayam dihati antara lain: Sad Ripu (6 musuh yang berada dalam diri manusia),  Sad Atatayi (6 jenis pembunuhan), Sapta Timira (7 macam kegelapan),  Catur Mada (4 kemabukan), dan lain-lain.  

Dalam lontar Purana Bali Dwipa, Galungan Pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Buda Kliwon Dungulan, tahun saka 804 atau sekitar 882 M. Namun selama kurang lebih 23 tahun, Galungan berhenti dirayakan pada masa pemerintahan Raja Sri Ekajaya. Galungan kembali dirayakan pada 1126 Saka saat Sri Jayakasunu menjadi Raja. Hari raya Galungan diperingati setiap 210 hari sekali dan diyakini para Dewata serta Leluhur turun ke bumi memberikan anugerah dan akan kembali ke Kahyangan pada hari ke-10 yaitu di hari Kuningan.  Hari raya Galungan dan Kuningan identik dengan pemasangan Penjor sebagai wujud bhakti dan simbol rasa syukur atas anugerah Ida Sanghyang Widhi Wasa. Berbagai tradisi unik juga dilakukan untuk merayakan hari raya Galungan dan Kuningan, seperti: Ngelawang Barong, Perang Jempana, Makotek, Ngurek, dll. Walaupun Hari raya Galungan dan Kuningan yang jatuh pada hari Buda Kliwon Dungulan, 19 Februari 2019 sempat diwarnai dengan kejadian banyaknya Babi mati mendadak dan adanya isu virus Flu Babi Afrika atau African Swiner Fever (ASF) yang sempat membuat resah warga Bali, khususnya Umat Hindu, oleh karena daging Babi menjadi makanan khas saat Penampahan Galungan,  namun Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali dengan sigap menyampaikan himbauan serta menurunkan Timnya untuk mengawasai pemotongan Babi demi menjaga kualitas dan Keamanan daging Babi sehingga layak untuk dikonsumsi.  

Rangkaian pelaksanaan hari raya Galungan dan Kuningan yang dimulai dari Tumpek Wariga dan berakhir saat Buda Kliwon Pahang sesungguhnya menyiratkan makna mendalam, agar umat senantiasa mengendalikan Indria, Introspeksi Diri (Mulat Sarira), berjalan di jalan Dharma. Dharma dalam konteks kekinian bisa diartikan sebagai sebuah kewajiban (swadharma).  Dalam BG.III.35 disebutkan bahwa Lebih baik melaksanakan kewajiban sendiri meskipun kurang sempurna pelaksanaannya daripada melaksanakan kewajiban orang lain walaupun lebih sempurna “Sreyan Svadharmo Vigunah, Paradharmat Svanusthitat”. Hal itu tidak hanya dilaksanakan saat Galungan dan Kuningan semata, tetapi dalam kehidupan sehari-hari.

Kemenangan Dharma melawan Adharma tidak berhenti hanya pada perilaku Ritualistik, tetapi yang lebih utama  adalah menurunkan laku  ritual kedalam kesadaran jiwa untuk menumbuhkan kultur kualitas diri, integritas dan moralitas, sehingga mampu menjadi penyejuk jiwa semesta. Manakala kita mampu berpegang teguh pada Dharma, maka akan dilindungi oleh Dharma “Dharmo Raksati Raksitah”.

Penulis : Ni Nyoman Wirati