KBRN, Jakarta : Sepanjang 2019 pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) oleh milenial di proyek perumahan milik Perum Perumnas tak sedikit mengalami penolakan perbankan lantaran tak lolos BI Checking, yakni proses pencatatan debitur terhadap lancar atau macetnya pembayaran kredit atau kolektabilitas seseorang.
Direktur Pemasaran Perum Perumnas, Anna Kunti Pratiwi mengatakan, penolakan oleh perbankan tersebut dilatarbelakangi dari banyaknya cicilan yang dimiliki milenial. Sebab, dalam memberikan kredit, perbankan harus memiliki credit scoring, di mana kekhawatiran perbankan timbul atas ketidakseimbangan antara penghasilan yang terbatas dengan banyaknya cicilan yang dimiliki pada kebutuhan lain. Sehingga milenial dianggap tidak sanggup mencicil KPR.
"Misalnya punya tagihan kartu kredit yang belum lunas saja bisa masuk ke dalam catatan di Bank Indonesia, kemudian untuk cicilan dari barang konsumtif lainnya juga pasti tercatat di data perbankan. Itu yang sebabkan eligibility, yang bisa masuk ke dalam persyaratannya itu menjadi terbatas," ungkap Anna ditemui di Kementerian BUMN Jakarta, Rabu (26/2/2020).
Selain perilaku konsumtif, faktor lain yang membuat gagalnya milenial mendapatkan KPR adalah jenis pekerjaan yang belum tetap sehingga akan sulit untuk mendapatkan rumah bersubsidi.
Untuk mengakali hal tersebut, Perumnas membangun kerja sama dengan sejumlah pihak untuk menghadirkan rumah dengan harga terjangkau untuk milenial, salah satunya bekerja sama dengan perbankan.
"Jadi di situ bisa dengan potong gaji dan lain sebagainya, jadi ada jaminan juga dari perbankan mengenai status dari karyawan itu dan itu sudah mulai banyak peminatnya dan juga mitra perbankan saat ini sudah banyak program-program khusus untuk milenial, baik dalam proses persetujuan KPR atau KPA nya dan juga dari masa tenggang waktu cicilannya," ujarnya.
Setidaknya 32 persen generasi milenial mengalami penolakan oleh perbankan ketika mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
"Total ada 46 persen yang mengajukan kemudian ditolak saat mengajukan KPR, kurang lebih usianya 35 tahun ke bawah itu 70 persen dari 46 persen itu (sekitar 32 persen)," pungkasnya.
Direktur Pemasaran Perum Perumnas, Anna Kunti Pratiwi mengatakan, penolakan oleh perbankan tersebut dilatarbelakangi dari banyaknya cicilan yang dimiliki milenial. Sebab, dalam memberikan kredit, perbankan harus memiliki credit scoring, di mana kekhawatiran perbankan timbul atas ketidakseimbangan antara penghasilan yang terbatas dengan banyaknya cicilan yang dimiliki pada kebutuhan lain. Sehingga milenial dianggap tidak sanggup mencicil KPR.
"Misalnya punya tagihan kartu kredit yang belum lunas saja bisa masuk ke dalam catatan di Bank Indonesia, kemudian untuk cicilan dari barang konsumtif lainnya juga pasti tercatat di data perbankan. Itu yang sebabkan eligibility, yang bisa masuk ke dalam persyaratannya itu menjadi terbatas," ungkap Anna ditemui di Kementerian BUMN Jakarta, Rabu (26/2/2020).
Selain perilaku konsumtif, faktor lain yang membuat gagalnya milenial mendapatkan KPR adalah jenis pekerjaan yang belum tetap sehingga akan sulit untuk mendapatkan rumah bersubsidi.
Untuk mengakali hal tersebut, Perumnas membangun kerja sama dengan sejumlah pihak untuk menghadirkan rumah dengan harga terjangkau untuk milenial, salah satunya bekerja sama dengan perbankan.
"Jadi di situ bisa dengan potong gaji dan lain sebagainya, jadi ada jaminan juga dari perbankan mengenai status dari karyawan itu dan itu sudah mulai banyak peminatnya dan juga mitra perbankan saat ini sudah banyak program-program khusus untuk milenial, baik dalam proses persetujuan KPR atau KPA nya dan juga dari masa tenggang waktu cicilannya," ujarnya.
Setidaknya 32 persen generasi milenial mengalami penolakan oleh perbankan ketika mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
"Total ada 46 persen yang mengajukan kemudian ditolak saat mengajukan KPR, kurang lebih usianya 35 tahun ke bawah itu 70 persen dari 46 persen itu (sekitar 32 persen)," pungkasnya.