info-publik

Atribut Kekuasaan dan Kesewenangan

Oleh: Vinta Editor: Syarif Hasan Salampessy 10 May 2020 - 11:30 kbrn-pusat
KBRN, Jakarta: Penggunaan simbol-simbol kekuasaan atau jabatan kerap dipakai untuk melawan hukum, baik oleh pejabat publik atau orang yang sekedar mengaku-ngaku. 

Belum lama ini viral kejadian di mana seorang buruh menganiaya supir ambulans. Aksinya bisa berjalan lancar karena banyak orang mengira yang bersangkutan adalah anggota parlemen karena tersemat aksesoris pejabat publik di mobilnya.

Tahun 2019 sampai saat ini minimal tercatat 25 kasus kekerasan fisik, maupun psikis di media massa yang melibatkan simbol kekuasaan atau jabatan. Kasus paling banyak adalah pemukulan dan pengancaman. Diduga jumlah kejadian jauh lebih tinggi.

Tampak masih ada keraguan di kalangan masyarakat untuk melaporkan kejadian perkara. Umumnya tidak tahu harus melaporkan ke mana, atau tak ingin berurusan dengan hukum. 

Sebagian masyarakat bahkan sengaja menghindari masalah jika jumpa dengan pihak yang mengenakan atribut atau mobil dengan plat nomor tertentu. 

Cerita dari mulut ke mulut ini seperti memperoleh legitimasi kebenaran saat banyaknya kasus yang tak tuntas atau pun pelaku dihukum ringan. Banyak pihak memanfaatkan ketakutan masyarakat ini untuk berbagai kepentingan, baik untuk kejahatan, untuk meningkatkan performa diri atau lembaga atau untuk melindungi diri.

Gejala lain adalah pihak yang berkuasa punya peluang untuk memaksakan kehendak melalui hukum dan kekuasaan. Ketakutan akan membuat orang lebih memilih untuk tidak mempersoalkan kasus. 

Apalagi sistem pembuktian baik dalam hukum acara perdata maupun pidana dan perlindungan saksi masih membuka peluang untuk itu.

Jeremy Bentham memandang bahwa tanpa rasa aman, nilai-nilai kelangsungan hidup, kemakmuran dan kesetaraan tak akan dapat dicapai melalui hukum.

Rasa aman dapat tercapai hanya bila ada harapan yang terencana tentang perilaku umum.

Pandangan umum bahwa aparatus atau pihak yang melawan hukum akan dilindungi harus dipatahkan. Pimpinan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan anak buahnya, pemberi kuasa bertanggung jawab atas apa yang dilakukan penerima kuasa. 

Perlu banyak contoh penertiban hukum yang terpublikasi untuk membangun keberanian masyarakat melawan siapa pun yang melawan hukum.


Naskah disusun oleh Pengamat Patologi Sosial, Ester Jusuf, S.H., M.SI (Foto:istimewa)