info-publik

Hamidah, Dulu 'Kehilangan Mestika' Kini 'Kehilangan Gedungnya'

Oleh: Ivansona_Al Editor: Nugroho 10 May 2020 - 11:30 kbrn-pusat

KBRN, Pangkalpinang : Sungguh berat rasa berpisah,ninggalkan kasih berusuh hati,duduk berdiri sama gelisah,kemana hiburan akan dicari...

Kian kemari mencari kesunyian,nenangkan kasih diri masing-masing,hati terharu dilipur nyanyian,tapi suara tak mau mendering...

Di manakah dapat awak menyanyi,bukankah sukma tersentuh duri?,hati pikiran berusuh diri?

Di manakah dapat bersuka ria,tidakkah badan sebatang kara?,kenangan melayang menyeberang segara...

Demikian puisi “Berpisah” goresan karya Fatimah Hasan Delais,yang lebih dikenal dengan Hamidah,wanita kelahiran Mentok,Bangka Barat tanggal 8 Juni 1914.

Hamidah merupakan seorang penulis,sastrawan Angkatan Pujangga Baru,Srikandi Bangka Belitung lewat novel dan juga puisi-puisinya dan aktif menulis sastra hingga ujung hayatnya 8 Mei 1953.

Salah satu novel karya Hamidah berjudul Kehilangan Mestika diterbitkan pertama kali pada tahun 1935 saat usianya baru menginjak 19 tahun.Kemudian dicetak ulang pada tahun 1937, 1949, 1954, 1957, dan cetakan keenam pada tahun 1963. Pada cetakan kelima dan enam, novel dicetak sebanyak 10.000 eksemplar dan habis terjual selama 2 tahun.

Selain menulis novel,Hamidah juga menulis puisi,antara lain puisi berjudul Berpisah (Pujangga Baru, 1935 dan Panji Pustaka 1935),Kekalkah?(Pujangga Baru, 1935),kumpulan puisi bersama dengan para sastrawan Pujangga Baru,1963),Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (Toeti Heraty, 1979),Tonggak 1 (Linus Suryadi AG,1987),dan Ungu: Antologi puisi wanita penyair Indonesia.

Nama Hamidah melegenda di Bangka Belitung,sehingga namanya pun dijadikan nama salah satu gedung serbaguna di Kota Pangkalpinang sejak 1995.

Namun,beda dulu beda sekarang,beda era beda pula kebijakan dan perlakuan.Entah karena Gedung Hamidah sudah reot karena kerentaannya,entah keberadaannya dianggap merusak pandangan di tengah megahnya gedung sekitar yang mencakar langit dan kemewahan yang kian mengerdilkan keberadaannya,entah (jangan-jangan) namanya sudah tak dikenal lagi,namun yang pasti Gedung Hamidah,ruang di jantung kota yang selama 25 tahun lebih telah berjasa melahirkan banyak acara,bukan sekedar acara tapi acara yang penuh makna,acara yang banyak melahirkan talenta-talenta,bakal segera tergusur,berganti penghuni.

Ya,Gedung Hamidah bakal berganti penghuni,takkan lagi jadi arena hunian pentas tari,puisi,musik,teater,diskusi,seminar,atau jadi tempat latihan dan belajar anak-anak hingga tua tentang banyak hal,karena akan dihuni oleh salah satu perusahaan waralaba makanan asal Amerika.

Keprihatinan mendalam akan dirobohkannya Gedung Hamidah tersebut disampaikan seorang sastrawan,penulis asal Pangkalpinang,Willi Siswanto kepada RRI,Kamis (5/3/2020).

“Saya orang yang pro dengan pembangunan-pembangunan dalam hal ini konteks pembangunan manusia harus diutamakan,pembangunan infrastruktur pendukung itu juga baik.Artinya dalam bentuk apapun baik fisik maupun non fisik,pembangunan itu penting,tapi itu semua harus dengan pertimbangan arif.Kalau tidak arif dan terkesan otoriter,mengabaikan dialog atau komunikasi ya tidak etis lah,dan itu yang terjadi dalam masalah ini.Paling tidak ajaklah rembug tokoh organisasi,seniman,pengamat budaya,orang-orang yang sangat sering manfaatkan gedung ini.Nah inikan tidak sama sekali,”kata Willy.

Willy tetap menyimpan harap Pemerintah Kota Pangkalpinang masih mau berpikir tentang pengabadian nama Hamidah jikapun gedung yang sekarang pada akhirnya dirobohkan juga.

“Penghormatan kepada Hamidah dan karyanya atau kenangan akan kiprahnya amat penting sebagai pondasi motivasi bagi generasi baru yang mau dan mampu memetik nilai perjuangan hidup dan idealismenya,”harap pria yang akrab disapa Mas Willy ini.

Hal yang sangat disayangkan dari kebijakan merobohkan Gedung Hamidah menurut Willy adalah hilangnya wahana yang representatif dan murah dimana orang-orang bisa silaturahmi,diskusi,menyalurkan hobinya.

“Yang Saya lihat wahana itu hilang padahal penting,katakanlah paling bodohnya adalah dimana orang bisa kumpul,diskusi ringan,dan bisa terhindar hujan dan representatif murah.Apakah dengan tumbuhnya cafe-cafe modern,ini mau disewa malah ke perusahaan asing lagi,wacana menjadikan manusia lebih bermutu dalam pola pikir,dalam pola laku akan tercapai lebih baik dibanding dengan adanya Gedung Hamidah yang mau dirontokkan ini?Belum tentu,”cetusnya.

Senada se-Dambus dengan Mas Willy,di tempat terpisah kepada RRI seorang pemerhati sosial budaya dan juga penulis buku asal Desa Kemuje Kabupaten Bangka,Ahmadi Sofyan atau Atok Kulop sangat menyayangkan Gedung Hamidah bakal dirobohkan.

“Dulu karya Hamidah ‘Kehilangan Mestika’,kini Hamidah ‘Kehilangan Gedungnya’.Ini lah jika kebijakan diambil orang yang tak paham sejarah dan budaya,maka akan basing terabas atau sesuka hati dengan alasan pembangunan,sedangkan bagi orang yang paham jadi gelik ati plus gerigit ati (red-geli dan kesal),”kata Atok Kulop.

Atok Kulop juga menghendaki agar Pemkot Pangkalpinang memberi solusi dengan mengganti gedung tersebut dengan mengabadikan nama Hamidah.

“Solusinya harus diganti dan nama Hamidah harus diabadikan.Bagaimapun Hamidah sastrawan terkenal asal kampung kita juga,yang membanggakan kita.Ya walaupun masyarakat tahunya Gedung Hamidah ya di situ,di tempat itu,nilainya juga jadi lain,apalagi orang yang ngerti siapa itu Hamidah.Saya yakin pemerintah tempo dulu membangun gedung itu tidak sembarangan atau sebasing,punya history,lewat kajian dan komunikasi dengan sejarawan,budayawan dan sastrawan di sini.Lebih baik pikirkanlah dulu sebelum dilakukan peruntuhan,”cetusnya.

Meminjam istilah tokoh besar bangsa Indonesia yakni Chairil Anwar ’Sekali Berarti Sudah Itu Mati’,jangan sampai kita hidup di masa kini tidak bisa menjadi manusia yang memberi arti terhadap manusia lainnya,dan selayaknyalah kita memberi sedikit arti bagi Hamidah yang setidaknya pernah memberi arti dalam hidupnya lewat Mahakaryanya pada kita.

Kini,Hamidah yang dulu ‘Kehilangan Mestika’,kini harus ‘Kehilangan Gedungnya’.