info-publik

Hukum Omnibus Ancam Kebebasan Pers, Kembali ke Era Orde Baru?

Oleh: Vinta Editor: Mosita Dwi Septiasputri 10 May 2020 - 11:29 kbrn-pusat

Naskah Disusun Oleh Pakar Komunikasi Public Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, Lukas Ispandrianto

KBRN, Jakarta: Rancangan Undang-Undang Hukum Omnibus diprotes sejumlah pihak karena mengancam kebebasan pers. Peneliti Lembaga Bantuan Hukum Pers atau LBH Pers, Mona Ervita menilai terdapat keterlibatan pemerintah dalam mengatur perizinan perusahaan pers.

Model ini seperti praktik era Orde Baru dimana terdapat izin usaha pendirian pers. Pada waktu itu dikenal istilah SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Dalam praktiknya, terdapat sejumlah syarat untuk mendapatkan izin dan setelah mendapatkan izin masih terdapat sensor atau pembatasan hingga pelarangan terbit atau pencabutan izin usaha.

Kritik juga dialamatkan pada pasal 18 RUU Cipta Kerja sebab terdapat sanksi bagi wartawan atau perusahaan pers bila melakukan pelanggaran berupa denda sebesar Rp 2 miliar rupiah. Dalam Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999 besarnya denda adalah Rp 200 juta. 

Denda sebanyak dimaksudkan agar tidak memberatkan bahkan membangkrutkan perusahaan media. Pers yang melanggar UU diberi peringatan dan denda namun tetap dapat hidup menjalankan perannya memberi informasi kepada publik. Denda sebesar Rp 2 miliar dalam RUU Cipta Kerja tentu sangat memberatkan dan besar kemungkinan membangkrutkan pers.

Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Agung Dharmaja tidak percaya dan terkejut dengan draf Omnibus Law yang memasukkan pasal UU Pers ke dalam RUU Cipta Kerja. Lebih dari itu, Dewan Pers juga merasa tidak dilibatkan dalam penyusunan RUU ini.

Bila tidak ada revisi draft UU Cipta Kerja, maka kebebasaan pers sungguh mengalami ancaman. Dan itu artinya kita kembali ke era Orde Baru. Benarkah demikian?

(Foto:istimewa)